Seorang pedagang bercerita kepada saya tentang salah satu pelanggannya. Wajahnya menyiratkan keresahan. Sudah 2 bulan berlalu sejak pelanggannya mengadakan walimah yang terbilang cukup mewah. Sebenarnya ia turut merasa bahagia. Hal ini ditunjukkan dengan ketersediaannya membantu persiapan pernikahan dan memberikan pinjaman uang. Ia juga hadir di acara walimah itu. Ironisnya, hingga kisah ini ditulis, sang pelanggan belum menunjukkan tanda-tanda akan melunasi hutangnya yang tidak bisa dibilang sedikit.
***
Problem pembiayaan walimah serupa barangkali tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Mulai dari tuntutan melestarikan adat/ tradisi, menuruti tren dan gengsi, menaikkan status sosial, hingga memaksakan untuk mencapai standar walimah masyarakat. Anggapan bahwa walimah adalah momen sekali seumur hidup yang harus dibuat semeriah mungkin juga turut menjadi alasan klise yang terkadang dijadikan pembenaran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa rangkaian pernikahan membutuhkan persiapan finansial yang cukup, utamanya untuk mahar dan acara walimah. Dilansir dari Liputan6.com, pada tahun 2017 Bridestory merilis Laporan Pernikahan Indonesia yang memuat berbagai informasi dan statistik seputar pernikahan di Indonesia.
Dalam laporan tersebut, setidaknya ada 4 kategori pernikahan berdasarkan biaya yang dikeluarkan mulai dari puluhan juta hingga milyaran rupiah, yakni affordable, moderate, premium, dan luxurios. Biaya tersebut dialokasikan untuk keperluan “standar” seperti venue dan katering, dekorasi dan tata cahaya, wedding dress, fotografi pernikahan, fotografi prewedding, cincin pernikahan, wedding organizer, make up dan hairdo, suvenir, hiburan, serta keperluan lain yang menyempurnakan acara walimah.
Bagi kalangan menengah ke atas, hal itu mugkin tidak menjadi masalah. Namun bagi kalangan menengah ke bawah, “standar walimah ideal” yang membutuhkan biaya tidak sedikit itu justru berusaha diwujudkan dengan berbagai cara dan upaya. Mulai dari menabung sejak jauh-jauh hari, menjual salah satu atau beberapa aset berharga keluarga, hingga meminjam uang dari bank atau orang lain dalam jumlah besar.
Hal ini dilakukan karena adanya perasaan ‘optimis’ dan menggantungkan biayanya pada sumbangan dari para tamu undangan, bahkan menganggap walimah sebagai “ladang bisnis” yang komersial. Dengan meriahnya pesta dan banyaknya tamu undangan, diharapkan banyak pula pemasukan yang akan diterima hingga mampu menutupi bahkan melebihi biaya yang dikeluarkan (surplus).
Walimah dalam Islam
Walimah atau walīmatu al-‘ursy merupakan salah satu rangkaian acara pernikahan yang disyari’atkan dalam Islam di samping prosesi akad. Istilah “walimah” merupakan serapan dari bahasa arab al-walīmatu yang berarti makanan pengantin atau makanan untuk tamu undangan. Secara sederhana, walimah dapat diartikan sebagai acara perjamuan makan yang bertujuan untuk memberitahu dan merayakan pernikahan sebagai ungkapan rasa syukur dan kebahagiaan dua mempelai atau dua keluarga.
Pada dasarnya Islam tidak pernah membuat standar ideal walimah dengan berpatokan pada hal-hal teknis seperti dekorasi, wedding dress, make up dan hairdo, suvenir, dan sebagainya. Inti dari walimah dalam Islam adalah mengabarkan pernikahan dan memberi jamuan sesuai dengan kemampuan penyelenggara. Hal ini dapat dipahami dari hadis riwayat al-Bukhari (no. 3781) yang menceritakan bahwa setelah beberapa lama menjalankan perdagangan, Abdurrahman bin Auf kembali dan mengenakan pakaian dengan bercak kuning wewangian.
Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Bekas apakah ini?”, ia menjawab “Sesungguhnya aku sudah menikahi seorang wanita anshar. “Berapa mahar yang kau berikan?”, ia menjawab, “emas seberat biji kurma”. Kemudian Rasulullah saw bersabda, أولم ولو بشاة (maka adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing). Hadis inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan utama dalam pensyari’atan walimah.
***
Abdurrahman bin Auf adalah salah seorang muhajirin yang menuai kesuksesan dalam dunia bisnis dengan kekayaan melimpah. Mahar yang ia berikan kepada istrinya yakni emas seberat/ sebesar biji kurma. Ada pula yang mengartikan 1 ons (100 gr) emas atau senilai kurang lebih seratus juta rupiah jika dikonversi kepada nilai rupiah sekarang. Dengan mahar sebesar ini, menjadi sangat wajar ketika Nabi saw menggunakan kata ب-لو (walau hanya dengan) untuk acara walimahnya.
Dalam gramatikal bahasa Arab, salah satu penggunaan kata لو yakni untuk menunjukkan makna taqlīl (menyedikitkan atau minimum). Ini berarti bahwa Rasulullah saw memberikan standar minimum berupa seekor kambing dalam perayaan walimah yang disesuaikan dengan kondisi finansial Abdurrahman bin Auf saat itu. Hal ini tentu sangat memungkinkan baginya untuk mengadakan walimah dengan lebih dari sekadar seekor kambing.
Jika sosok Abdurrahman bin Auf barangkali dapat menjadi representasi pengantin dengan finansial lebih dari cukup dan adanya ‘kemungkinan’ menyelenggarakan walimah yang tidak ala kadarnya, maka Nabi saw dapat menjadi representasi pengantin yang mengadakan walimah secara bersahaja. Dalam riwayat Muslim (no. 2564), Anas menceritakan bahwa pada masa perang Khaibar (tepatnya setelah Khaibar ditaklukkan), Nabi Muhammad saw menikahi seorang putri dari pemimpin Bani Quraidzah dan Bani Nadzir yang ditawan oleh Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Perempuan tersebut bernama Shafiyah binti Huyai. Ia dinikahi dengan mahar berupa kemerdekaan dirinya yang sebelumnya dibeli dengan 7 budak. Setelah menikahinya, Rasulullah saw mengadakan walimah dengan menghidangkan kurma, susu kering, serta minyak samin.
Berbeda halnya ketika Nabi Muhammad saw menikahi Zainab binti Jahsyi. Putri dari bibi Rasulullah saw sekaligus mantan istri Zaid bin Haritsah ini beliau nikahi dengan menggelar walimah yang menghidangkan masakan kambing dan roti. Meski demikian, walimah seperti ini menurut Anas tidak pernah diselenggarakan oleh Nabi Muhammad saw saat menikahi istri-istrinya yang lain.
Walimah Mengikuti Standar Tren dan Tradisi Masyarakat
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, asas dari walimah adalah mengabarkan pernikahan dan memberi jamuan sesuai dengan kemampuan penyelenggara. Walimah yang digelar secara mewah hanya karena mengikuti tren apalagi sekadar ingin mendapat pengakuan, sanjungan, gengsi dan kenaikan status sosial tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial yang sangat terbatas bahkan tidak mencukupi tentu pamali. Karena hal itulah yang menimbulkan resah dalam penyelenggaraan walimah. Maka menjadi penting bagi penyelenggara walimah untuk mengukur kemampuan finansial dan menyusun keperluan apa saja yang paling diprioritaskan sesuai budget yang tersedia, tanpa harus berpatokan pada standar yang berlaku pada umumnya.
Jika pembengkakan biaya walimah berkaitan dengan tradisi/ adat yang turun temurun, maka hal ini dikembalikan kepada salah satu syarat ‘urf (adat) dalam hukum Islam, yakni boleh diamalkan selama tidak mengesampingkan nash syariah dan tidak mengakibatkan kemadaratan. Jangan sampai walimah yang seharusnya mendatangkan berkah justru menjadi sumber mafsadah (kerusakan dan kerugian). Bisa menyelenggarakan walimah dengan “baik” sehingga mampu memuliakan tamu dengan segala fasilitas dan jamuannya itu alhamdulillah. Jika belum bisa, tidak masalah. Karena walimah yang lebih dari “ala kadarnya” tidak serta merta menjadikan mulia. Sebaliknya, walimah bersahaja bukan berarti tidak bisa memuliakan tamu dan lantas menjadikan hina.
Wallahu a’lam bish shawab.
Referensi
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Kasir, 2002.
Liputan6.com
Al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Sahih Muslim, Beirut: Muʾassasat al-Risālah, 2016.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman, Kathur Suhardi (pent.), Sirah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.
Umar, Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah. Kairo, Alim al-Kutub: 2008.
Wizārah al-Auqāf wa asy-Syu`ūn al-Islāmiyyah, Al-Maushū’ah al-Fiqhiyah. Kuwait: Wizārah al-Auqāf wa asy-Syu`ūn al-Islāmiyyah, 2006.
Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta dan Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan. Saat ini sedang menjalani pengabdian sebagai musyrifah di almamater saya sendiri, PUTM Yogyakarta. Bisa dihubungi melalui Instagram @marifah_saifullah.
Dibaca:
157