Amina Wadud Muhsin terlahir dengan nama Maria Teasley, ia lahir di kota Bathesda Maryland, Amerika Serikat pada tanggal 25 September 1952. (Amina Wadud Muhsin, Inside The Gender Jihad Women’s: 2006)
Ayahnya merupakan seorang Methodist menteri dan ibunya merupakan keturunan dari budak Muslim Arab. Beliau merupakan turunan dari Berber Afrika-Amerika (kulit hitam) (Ahmad Baidawi, Tafsir Feminis; Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufassir Kontemporer: 2005)
Kemudian adapun pada tahun 1972 ia mengucapkan syahadat dan menerima Islam dan pada tahun 1974 namanya kemudian diganti menjadi Amina Wadud Muhsin yang mencerminkan afiliasi agamanya. Ia pun menerima gelar BS, dari The University of Pennsylvania, antara tahun 1970 dan 1975. (Amina Wadud Muhsin, Qur’an Menurut Perempuan: 2001)
Ketika usianya menginjak 20 tahun, ia yang pada saat itu masih bergelut di dunia perkuliahan, akhirnya memutuskan untuk menjadi muslim.
Menurut Barlas, posisi Wadud sebagai seorang Amerika keturunan Afrika yang pindah ke agama Islam. Dan karenanya ia menjadi ‘orang Barat’, yang telah memungkinkan dia untuk terlibat dalam Islam dengan sebuah ‘kesadaran tertentu yang membentuk identitasnya’.
Latar Belakang Pendidikan
Amina Wadud memperoleh gelar Ph.D nya dalam studi Islam dari Universitas Michigan pada tahun 1988. Dan pada saat penulisan buku ia pun sedang mengajar di Universitas Commonwealth Virginia. (Abdullah Saeed, Pengantar Studi al-Qur’an: 2016)
Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam; telah mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada suatu hari yang ia sebut sebagai Thanks giving day pada tahun 1972.
Di Amerika, Amina bergabung kedalam komunitas muslim. Komunitas tersebut masih bernilai minoritas di Amerika yang berjuang keras dalam meneguhkan identitas mereka di tengah tuduhan sebagai kelompok radikalis. Adapun identitas Amina tersebut sangat membantunya dan juga masyarakat muslim kulit hitam dalam mempertahankan kehormatan mereka dari ancaman pelecehan ras; karena keturunan Afrika-Amerika masih sangat rentan mengalami diskriminasi rasis di negara adidaya tersebut.
Teori Hermenutika Gender Amina Wadud Muhsin
Salah satu asumsi dasar yang menjadi kerangka berfikir oleh Amina Wadud adalah bahwasannya al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang mendudukkan laki-laki serta perempuan dalam posisi yang setara.
Sehingga oleh karenanya, pesan-pesan kudus yang termuat dalam Al-Qur’an seharusnya ditafsirkan dalam konteks historis yang spesifik dan tidak general. Dengan kata lain, situasi sosio-historis-kultural tatkala Al-Qur’an turun harus menjadi perhatian seorang mufassir ketika ia hendak menafsirkan Al-Qur’an. Tak hanya itu, latar belakang mufasir pun tidak boleh diabaikan dalam membongkar ketimpangan tafsir Al-Qur’an yang bias gender.
Atas dasar pandangan tersebut, Amina meyakini bahwa tak ada suatu penafsiran yang benar-benar objektif menurutnya. Karena seorang mufasir tak jarang terjebak dalam asumsi subjektif yang seringkali mereduksi dan mendistorsi makna Al-Qur’an.
Untuk mendapatkan penafsiran yang relatif objektif, Amina mensyaratkan, seorang mufasir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an sebagai kerangka paradigma penafsiran. Adapun wujud dari syarat tersebut, seorang mufasir tidak harus mampu dalam melihat secara menyeluruh apa yang diwacanakan oleh Al-Qur’an terutama perihal relasi baik laki-laki maupun perempuan.
Metode Penafsiran yang Digunakan Amina Wadud
Dalam bukunya, Amina mencoba menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an yang digunakan atau dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Dia menganjurkan agar semua ayat yang turun pada titik sejarah tertentu serta dalam suasana umum maupun khusus; diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya.
Namun, pesan yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada waktu maupun suasana historis. Selain itu, seorang pembaca harus memahami maksud dari ungkapan-ungkapan al-Qur’an menurut waktu dan suasana penurunannya guna menetukan makna yang sebenarnya.
Sehingga makna inilah yang menjelaskan maksud dari adanya ketetapan atau prinsip yang terdapat dalam suatu ayat.( Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From a Woman’s Perspective: 1999)
Adanya pandangan baru mengenai bahasa Al-Qur’an yang kaitannya dengan gender sangat diperlukan terutama karena tidak ada kata Arab yang bersifat netral. Meskipun setiap dalam bahasa Arab dinyatakan sebagai maskulin atau feminine.
Namun bukan berarti bahwa setiap penyebutan oknum laki-laki dan perempuan selalu merujuk pada jenis kelamin yang disebutkan melalui perspektif petunjuk Al-Qur’an yang universal. Sebuah teks suci harus mengatasi keterbatasan-keterbatasan alamiah dari bahasa yang menjadi alat komunikasi manusia.
***
Berkaitan dengan hermeneutik feminisnya, Amina Wadud memiliki asumsi epistemologis yang mendasarinya; meskipun tidak tersusun secara sistematik, akan tetapi prinsip-prinsip ini sangat dominan dalam tulisannya, di antaranya:
(1) Al-Qur’an sebagai pedoman universal, tak pernah terikat oleh ruang dan waktu. Pernyataannya bernilai abadi dan tidak membedakan jenis kelamin maupun gender. Oleh sebabnya Amina Wadud berusaha menghadirkan pandangan ayat-ayat yang netral gender.
(2) Pandangan tentang peran perempuan hendaklah melalui kajian ulang Al-Qur’an dengan berpedoman pada prinsip umum tentang keadilan sosial dan kesetaraan manusia.
(3) Al-Qur’an dapat beradaptasi dalam konteks perempuan dan masyarakat pada zaman Rasul, sebagaimana halnya dengan Al-Qur’an yang juga memiliki potensialitas untuk diadaptasi dalam konteks perempuan modern.
(4) Selama ini interpretasi tentang perempuan dalam Al-Qur’an secara eksklusif ditulis oleh pria beserta pengalaman mereka. Oleh karena itu ayat tentang perempuan hendaklah ditafsirkan oleh perempuan sendiri berdasarkan persepsi, pengalaman, dan pemikiran mereka.
***
Tak hanya itu, dalam pemikirannya Amina Wadud pun menggunakan tafsir tematik, yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berhubungan dengan tema dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas; serta didukung dengan dalil maupun fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik itu dari al-Qur’an, hadits, maupun pemikiran rasional.
Selain itu, dalam penafsirannya ia pun menggunakan teori semantik, yakni suatu ilmu tentang makna, dengan menganalisis: (1) bentuk maskulin dan feminin dalam Al-Qur’an; (2) sejumlah kata kunci dan ungkapan penting tertentu yang berhubungan dengan manusia baik secara umum dan secara khusus untuk mengungkapkan pemahaman kontekstualnya.
Hal ini terlihat dalam penjelasannya dalam Q.S An-Nisa’:1 dan Q.S ar- Rum:21, dengan menguraikan makna dari kata kunci min, ayat, nafs, dan zauj.
Selanjutnya dengan mengutip pandangan Fazlur Rahman, Amina Wadud menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah. Pada umumnya menggunakan ungkapan yang hampir sesuai dengan situasi yang mengelilinginya; sehingga ia tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan.
Oleh karena itu, dalam pandangan Amina Wadud usaha dalam memelihara relevansi Al-Qur’an dengan perkembangan kehidupan manusia dapat dilakukan dengan terus-menerus dan ditafsirkan ulang.
sumber : rahma.id