masturah.com, Berkat nasihat Tengku Ismail Indrapuri yang peduli masalah gender, Malahayati berhasil merubah stereotip lemah terhadap dirinya sendiri sebagai perempuan. Bahkan hingga mampu mengalahkan pasukan armada laut Portugis beserta Belanda dan menjadi Laksamana perempuan pertama dunia di abad modern.
Keumalahayati atau akrab dipanggil Laksamana Malahayati, lahir tahun 1550 M di Banda Aceh, pada masa sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahar dan merupakan anak Laksamana Mahmud Syah. Sejak usia enam tahun, ia sudah diajari baca tulis Al-Qur’an oleh kedua orang tuanya. Menginjak usia delapan tahun; Malahayati belajar ilmu agama kepada Tengku Jamaludin Lam Kra, seorang pengasuh pondok pesantren putri di daerah Banda Aceh.
Dua tahun kemudian, ia melanjutkan belajar ke Dayah Inong (Madrasatul Banat) untuk memperdalam ilmu fikih, akidah, akhlak, dan bahasa Arab. Ia juga menyempatkan diri belajar bahasa Inggris, Spanyol, dan Portugis. Berawal dari kegemarannya mempelajari bahasa asing tersebut; akhirnya ia menjadi figur perempuan yang mampu menguasai bahasa Arab, Inggris, Spanyol, dan Portugis dengan baik.
**
Tahun 1575 berubah menjadi masa kelabu bagi Malahayati, Laksamana Mahmud Syah harus meregang nyawa di tangan pasukan Portugis saat pertempuran di selat Malaka. Akibatnya, ia sering berkeluh kesah dan menceritakan kegundahan hatinya kepada gurunya, Tengku Ismail Indrapuri.
“Ah, mengapa aku lahir sebagai perempuan. Andai saja aku laki-laki, tentu dengan mudah menjadi Laksamana dan menuntut balas kepergian ayah,” sesal Malahayati berkaca pada dirinya.
Sang guru dengan penuh perhatian, memberi pengertian kepada Malahayati atas kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai pengemban tugas di muka bumi. “Malahayati, di hadapan Allah, manusia laki-laki dan perempuan itu sama saja karena kedua-duanya memikul amanah-Nya di bumi ini,” sahut Tengku Ismail menasihatinya.
Nasihat inilah yang memantik semangatnya untuk melawan penjajah Portugis dan Belanda di tengah deburan ombak samudera; hingga kelak menjadikan ia sebagai Laksamana perempuan pertama dunia.
Atas dukungan Ottoman melalui sultan Selim II, Serambi Mekah berhasil mendirikan akademi militer sekitar tahun 1569 M. Akademi tersebut bernama: Mahad Baitul Makdis; yang diinstrukturi para Perwira Turki. Di akademi ini, Malahayati menjadi taruna dan mengambil jurusan laut. Kemudian di pusat penggemblengan militer ini pula, Malahayati bertemu dengan calon perwira laut yang lebih senior darinya, Zainal Abidin.
Setelah menyelesaikan pendidikan militer, keduanya menjalin asmara yang kemudian dilanjutkan sampai ke kursi pelaminan.
Namun, kejadian nahas harus menimpa keluarga baru itu. Laksamana Zainal Abidin terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Portugis di atas geladak kapal Kuta Alam, setelah meriam Portugis meledak.
***
Dalam keadaan yang terdesak dan melihat suami tercinta meninggal; Malahayati langsung mengambil alih kendali jalannya peperangan dengan mengatur siasat serang ke pasukan Portugis. Hasilnya, ia dapat menenggelemkan tiga kapal Portugis dan menawan 2 kapal lainnya serta memukul mundur semua pasukan armada laut Portugis. Singkatnya, Malahayati cukup gemilang dalam memimpin peperangan saat itu.
Meskipun gugur, suami Malahayati turut berkontribusi besar mengalahkan pasukan armada laut Portugis dalam perang di Teluk Haru itu.
Terbunuhnya Laksamana Zainal Abidin, membuatnya mengajukan permohonan kepada sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukamil (1589–1604 M) untuk membentuk pasukan armada laut Aceh yang diisi prajurit-prajurit janda, Inong Balee. Permohonan itu dikabulkan, dan ia pun didaulat menjadi panglima armada Aceh V dengan pangkat Laksamana muda.
Seturut berjalannya waktu, pada awalnya pasukan itu hanya diisi 1000 prajurit janda muda. Kemudian berangsur-angsur bertambah menjadi 2000 prajurit, termasuk para gadis ikut membahu dan siap bertempur di bawah komando Malahayati, kata Prof. Hasymi dalam gubahan Malahayati Srikandi dari Aceh.
Pada 21 Juni 1599 M, bersama armada Inong Balee, berdasarkan catatan Marie van C. Zeggelen dalam karyanya: Oude Glorie, Malahayati telah berjaya membunuh Cornelius de Houtman dan seorang anak buah Frederijk de Houtman di kapal Van Leeuw menggunakan rencong miliknya (Cornelius de Houtman ditikam Malahayati menggunakan rencong). Sedangkan Frederijk de Houtman ditawan oleh pasukan Inong Balee.
Peristiwa ini, disebabkan karena dua bersaudara Houtman; Cornelius de Houtman dan Frederijk de Houtman mengkhianati kepercayaan sultan. Mereka menghasut, mengacau, dan memanipulasi dagang.
***
Penulis lain, Marie van C. Zuchtelen dalam guratannya berjudul Vrouwelijke Admiraal Malahayati, menyatakan kekagumannya terhadap Laksamana Malahayati. Menurutnya, belum ada perempuan di dunia yang menjadi panglima seperti Laksamana Malahayati, karena mampu mengomandoi 2000 prajurit perempuan.
Jhon Dawis, seorang nahkoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris yang pernah singgah di Aceh, dalam buku Laksamana Keumalahayati karangan Rusdi Sufi mengatakan; kala itu Aceh mempunyai 100 kapal perang yang dilengkapi meriam dan berkapasitas 400–500 orang. Di bawah pimpinan Malahayati, armada laut Aceh itu berhasil keluar sebagai kekuatan militer laut terkuat di Asia Tenggara.
Dalam pertempuran terakhir melawan Portugis pada tahun 1606, di tengah rasa sakit yang mendera dirinya, ia harus rela ditandu untuk mengomandoi Inong Balee di darat. Usaha yang tidak sia-sia, Malahayati bersama Inong Balee untuk kedua kalinya berhasil mengalahkan pasukan Portugis. Setelah sukses dalam pertempuran itu, Malahayati tutup usia.
Di peristirahatannya yang terakhir, Malahayati disemayamkan di lereng bukit kota Dalam, Krueng.
Sekarang, namanya harum diabadikan sebagai nama kapal perang Angkatan Laut RI: KRI Malahayati Jales Veva Jaya Mahe, dan ditetapkan menjadi pahlawan nasional pada 9 November tahun 2017.
sumber : rahma.id