masturah.com, Nama asli Bint Syathi’ adalah Prof. Dr. Aisyah Abdurrahman. Seorang perempuan pertama yang menjadi seorang ahli tafsir Al-Quran. Tidak seperti mufasir perempuan yang lain, Bint Syathi’ tidak membahas ke-perempuan-an dalam tafsirnya. Dia menggunakan pendekatan sastra dalam memahami Al-Quran.
Lahir di kota Dimyat, sebuah kota pelabuhan di Delta Sungai Nil bagian Utara Mesir, pada tanggal 6 November 1913 M, bertepatan pada tanggal 6 Dzulhijjah 1331 H, dari pasangan Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang agamis, mapan dan berpendidikan. Shaykh Ibrahim ad-Damhuji al-Kabir, kakek keturunan ibu merupakan salah satu ulama besar Azhar.
Bint Syathi’ memulai pendidikannya pada tahun 1918 ketika dia berumur 5 tahun. Sejak kecil, ia telah dipersiapkan menjadi seorang ulama Islam. Keluarganya selalu menekankan untuk menghafalkan Al-Quran setiap harinya. Sehingga di usia yang masih belia ia telah mampu menyelesaikan hafalannya.
***
Nama Bint syathi’ bermula dari nama pena ketika Aisyah Abdurrahman menulis di berbagai macam surat kabar, karena takut akan kemarahan sang ayah ketika membaca artikel-artikel tulisannya yang sejak awal memang menentang pendidikannya di luar rumah, akhirnya ia memutuskan menggunakan nama Bint Syathi’ sebagai nama penanya.
Ayahnya berpandangan bahwa seorang perempuan hingga usia dewasa harus berdiam di rumah dan menempuh studinya disana. Beliau baru mengizinkan Bint Syathi’ keluar rumah untuk menuntut ilmu setelah ibunya meminta kakek dan guru sang ayah memintakan izin atas hal tersebut.
Sepeninggal kakeknya, Bint Syathi’ kehilangan pendukung utamanya. Ayahnya kembali meminta Bint Syathi’ untuk tinggal di rumah. Meskipun demikian dia menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku yang ia pinjam dari teman-temannya. Karena kecerdasan dan ketekunannya Bint Syahthi’ lulus dengan predikat cumlaude.
Hal ini mendorongnya untuk senantiasa menekuni ilmu-ilmu ke-Islam-an. Bint Syathi’ memulai karirnya menjadi Penulis di sebuah lembaga di Giza. Ia banyak melayangkan tulisan di berbagai media massa terkenal di Mesir. Dari sinilah namanya mulai memuncak.
Karir kepenulisannya terus berkembang. Kesibukannya dalam menulis tidak meghambat proses studinya. Pada tahun 1936, Bint Syathi’ menyelesaikan S1 Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab di Universitas Cairo. Setelah itu, ia menyelesaikan program Magister di Universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941.
Pada tahun 1950 berhasil meraih gelar Ph.D dan menjadi guru besar bahasa dan sastra arab pada Fakultas khusus untuk perempuan di Universitas ‘Ayn Al Syams, Kairo. Tidak hanya menjadi guru besar di Universitas tersebut, Bint Syathi’ juga menjadi guru besar tamu di universitas lain seperti Universitas Islam Umm Durman, Sudan.
Kitab Tafsir Karya Bint Syathi’
Karyanya Al Tafsir Al Bayani li Al-Quran Al Karim sebagai kitab tafsir yang konsentrasi pada kebahasaan Arab. Kitab Al Tafsir Al Bayani li Al-Quran Al Karim merupakan magnum opus Bint Syathi’, yang terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dicetak pada tahun 1966 M dan 1968 M. Sedangkan jilid kedua terbit pada tahun 1969 M.
Karya tafsir yang ditulisnya itu hanya terdiri dari empat belas surat pendek. Walaupun begitu publik sangat apresiatif dengan penerbitan karya ini. Bahkan mereka mengharap dia dapat menyelesaikan sampai 30 juz. Namun hal ini tidak sempat terealisasikan sampai dia wafat.
Dalam karyanya Al Tafsir Al Bayani li Al-Quran Al Karim, Bint Syathi’ menggunakan pendekatan sastra dan menafsirkan ayat berdasarkan kronologis turunnya surah bukan susunan surah dalam mushaf Al-Quran. Menurutnya, dalam menafsirkan Al-Quran hendaknya seorang mufasir mengacu pada urutan ayat atau surah berdasarkan tertib turunnya.
Dalam rangka menjaga orisinalitas dan cita rasa kebahasaan Al-Quran, Bint Syathi mengajukan beberapa cara untuk menyingkirkan unsur luar dan asing dalam pemahaman Al-Quran. Pertama, Bint Syathi’ menolak campur tangan israilliyat dalam membantu menjelaskan makna Al-Quran.
Kedua, menghindari pembahasan tentang kaitan Al-Quran dengan sains modern. Ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran dipandang memiliki makna sendiri yang instrinsik dan hanya dapat dipahami dengan mempelajari dalam konteksnya sendiri bukan sebagai pelajaran dalam berbagai sains modern.
Bint Syathi’ sangat khawatir dengan adanya paham sekterian dan israilliyat yang masuk ke dalam tafsir para mufasir klasik. Demikian ini tentu saja berpengaruh terhadap pemahaman kitab agama Islam karena penjiwaan dan pengaruh kondisi-kondisi lokal.
Hal ini masih ditambah dengan penafsiran mufasir yang mengarahkan nash namun kekurangan cita rasa bahasa Arab yang jernih dan asli. Kadang-kadang arahnya pun menyeleweng, karena fanatisme sesat, kesalahan metodologis, atau pemahaman yang dangkal.
****
Hal yang utama dalam metode ini adalah penguasaan tema untuk mengkaji satu tema yang ada di dalamnya, lalu menghimpun semua tema di dalam Al-Quran, mengikuti kelaziman lafadz-lafadz dan ungkapan-ungkapan, sesudah membatasi makna bahasa.
Selanjutnya, dalam tataran pelaksanaan metode penafsiran, baik dalam bentuk tahlili maupun maudhu’i dan metode-metode lainnya, dia menekankan pentingnya memahami petunjuk lafal dengan cara pendalaman makna bahasa arab yang orisinal.
Sebagai contoh uraian Bint Syathi’ ketika menafsirkan surah ad Dhuha. Dalam menafsirkan surah ad Dhuha, Bint Syathi’ memulai dengan mengemukakan berbagai riwayat tentang asbaab al nuzul ayat. Selanjutnya dia menjelaskan tentang قسم (sumpah) dengan huruf wawu (والضحى).
Bint Syathi’ mengemukakan pendapat pakar seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah yang mengatakan bahwa sumpah Allah dengan makhluknya membuktikan bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaaannya yang besar. Bint Syathi’ menjelaskan makna wawu dalam surah ad Dhuha.
Mereka mencampur adukkan keagungan dengan hikmah makhluk yang digunakan untuk bersumpah. Bint Syathi memaknai sumpah-sumpah dalam surah ad Dhuha sebagai ayat yang menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran. Inilah yang diyakini dalam kitab Al Tafsir Al Bayani li Al-Quran Al Karim tentang sumpah dengan waktu dhuha dan malam ketika sunyi.
sumber : rahma.id