Kartini lansia…
Pagi ini saya mendapat rantaian pesan di salah satu Whatsapp grup LSM lansia.
Mbah Sum, salah satu lansia dampingan di Elderly Rights Advocacy and Treatments (ERAT) Indonesia, memamerkan foto-foto kegiatannya menyambangi beberapa lansia perempuan soliter di daerahnya. Lansia-lansia yang hidup sendiri di hari tua tanpa sanak saudara.
Diabadikan oleh anaknya, terlihat beberapa foto menampilkan momen pertemuan antar lansia perempuan. Tertangkap kamera saling duduk bersama, bergandeng tangan, berangkulan, dan bahkan berpelukan. Begitu pun ekspresi mereka, penuh senyum dan tawa bahagia serta terlihat pula tangisan haru.
Tak banyak sebenarnya yang dilakukan oleh Mbah Sum. Berbekal satu paket camilan dan makanan beliau mendatangi rumah satu persatu. Bertegur sapa, diajaknya mereka sekadar berbincang dan bersendau gurau.
Kemudian, sambil sesekali diuliknya permasalahan-permasalahan apa yang sekiranya mengganjal bagi para lansia perempuan soliter ini. Mencoba merumuskan dan merangkum berbagai cerita itu dengan kemampuan beliau. Untuk nantinya ditindaklanjuti atau diungkapkan ulang dalam berbagai forum dengan pihak-pihak terkait.
***
Apa yang dilakukan Mbah Sum murni atas kehendak pribadi. Sebagai sesama lansia, beliau sadar betul berbagai permasalahan yang dihadapi para lansia perempuan. Beliau juga sadar akan minimnya perhatian dari pihak luar akan nasib kaum mereka. Maka yang dipilihnya adalah bergerak, berbuat sesuatu bagi rekan-rekan sejawatnya.
Beginilah nasib kartini-kartini lansia di Indonesia. Di tengah hingar bingar berbagai gerakan sosial bagi kaum rentan, mereka menjadi salah satu target grup yang jarang menjadi sasaran pemberdayaan. Posisinya dianggap sebagai golongan lemah. Tidak lagi punya banyak waktu dan tenaga untuk diberdayakan dalam berbagai kegiatan. Maka tak jarang, lansia perempuan yang memiliki kesadaran tinggi seperti Mbah Sum lebih memilih bertindak sendiri daripada menanti bantuan pihak lain.
Kiprah Mbah Sum lain yang menurut saya fenomenal terjadi pada akhir tahun lalu. Di usianya yang menginjak 68 tahun beliau melakukan satu langkah besar bagi perempuan seusianya. Memperjuangkan pemberian KTP. Bagi salah satu lansia perempuan soliter yang hidup sendiri di salah satu desa di Gunungkidul, DIY.
Karena bagi Mbah Sum, ketiadaan KTP berarti lansia perempuan tersebut tidak tercatat sebagai warga negara Indonesia. Lebih lanjut, ketidakpunyaan kartu satu ini berarti personal tersebut tidak bisa mengakses fasilitas negara. Termasuk paling kentara adalah akses bantuan sosial dari pemerintah.
Baiklah, dalam beberapa kasus memang bantuan sosial dari negara terkesan sebagai langkah praktis yang tidak efektif. Bahkan kasus terakhir menunjukan bahwa bantuan untuk akar rumput ini justru disunat sendiri oleh para petinggi birokrasi. Tapi bayangkan, bagi lansia perempuan soliter bantuan sosial tersebut tentulah sangat diharapkan.
***
Perjuangannya seorang Mbah Sum tidaklah mudah. Harus bolak balik mengurus izin dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan berbagai cibiran melanda beliau. Tatkala lansia perempuan yang dibantunya sama sekali bukan saudara ataupun tetangga dekatnya. Beliau tetap teguh memperjuangkan, dan walaupun lama hasilnya pun didapat. Sebuah KTP bagi lansia perempuan yang dia perjuangkan. Luar biasa.
Apa yang dilakukan oleh Mbah Sum tersebut buah dari ketidakhadiran organ-organ negara dalam masyakarat. Adanya lansia perempuan soliter tanpa tanda kependudukan adalah kelalain pihak aparatur negara. Bayangkan saja, bagaimana nasib lansia-lansia tanpa KTP ini bila ada bantuan sosial yang dialirkan. Sudah pasti tidak dapat. Tak hanya terkait bantuan sosial, tapi juga hak lain terancam hilang karena ketiadaan tanda kependudukan.
Permasalahan kaum lansia pada umumnya memang pelik. Selain permasalahan utama dalam hal kesehatan, beragam permasalahan lain turut mengikuti. Kebanyakan berkutat pada posisi lansia yang termarginalkan. Seperti minimnya kegiatan bagi lansia, ketiadaan ruang bersama, serta berbagai kebijakan-kebijakan publik yang tidak ramah bagi lansia.
Pemerintah punya kewajiban akan hal ini. Tapi ketika pemerintah tidak sanggup, maka masyarakat sipil bisa memasuki ruang-ruang isu lansia ini. Melalui berbagai komunitas serta organisasi yang dibentuk. Begitu pula ketika koalisi masyarakat sipil belum mampu menjangkau isu ini. Maka antar lansia sendiri bisa saling bergerak untuk peduli terhadap sesamanya.
***
Bantuan dalam bentuk kebutuhan sehari-hari memang krusial bagi para lansia. Tapi dibalik itu, ada satu bentuk tindakan yang sangat dinanti oleh para lansia. Yaitu disapa dan diajak bicara. Ketika seorang lansia disapa maka itu sebagai bentuk dari sebuah perhatian. Sedangkan ketika kita mengajak mereka berbicara dalam sebuah obrolan, artinya kita menganggap meraka ada. Suatu bentuk eksistensi yang dibutuhkan para lansia. Apalagi jika kita mengaitkan dengan kondisi pandemi sekarang.
Seperti kisah Eyang Muji, salah satu kader penggerak lansia perempuan di sebuah kampung di sudut Kota Yogyakarta. Sebelum pandemi, beliau menjadi promotor adanya kegiatan senam dan cek kesehatan bagi lansia perempuan. Tak jarang beliau juga menginisiasi kegiatan liburan bersama. Beliau menciptakan ruang-ruang di mana mereka bisa saling bertemu dan berkegiatan bersama.
Sampai akhirnya datang pandemi. Kegiatan yang beliau inisiasi harus dibatasi, dan akhirnya ditiadakan sementara. Kesadaran akan kesehatan diri lansia menyeruak, sebagai golongan yang paling rentan terdampak tentu mereka harus berhati-hati dan menjaga diri.
Dampaknya, para lansia perempuan di lingkungan Eyang Muji menjadi kesepian. Tuntutan untuk berdiam diri di rumah menjadi tantangan tersendiri. Bosan adalah keluhan utama, tatkala semua aktivitas harus dilakukan di dalam rumah. Para lansia perempuan ini tak bisa lagi menjangkau ruang bersama yang sebelumnya sering mereka dapatkan.
Kekhawatiran tentu menjadi pikiran dalam diri Eyang Muji. Membayangkan kawan-kawan seusianya hanya terdiam di rumah. Terasing, karena tidak semua keluarga mampu menempatkan lansia sebagaimana mereka harus diposisikan. Maka tantangan bagi Eyang Muji untuk menciptakan ruang baru bagi mereka di tengah pandemi.
***
Didapatilah satu cara sementara yang bisa dilakukan, yaitu menelepon para lansia perempuan. Konsepnya cukup sederhana, beliau cukup menelepon, mengobrol, dan bertegur sapa tentang kondisi mereka. Mendengarkan, itu kata kuncinya. Para lansia perempuan ini butuh ruang agar mereka mendapat perhatian, didengarkan apa yang menjadi uneg-uneg dalam pikiran mereka.
Kembali lagi, para lansia seperti Mbah Sum dan Eyang Muji ini adalah para pejuang bagi lansia perempuan. Tidak perlu menunggu arahan dari pemerintah atau uluran dari masyarakat umum. Kartini-kartini lansia ini menolak untuk terabaikan, terus obah dan berjuang dengan gigih..
Saya jadi berpikir, bagaimana seandainya seorang Raden Adjeng Kartini masih hidup sampai usia lansia di zaman sekarang. Tentu pikiran dan naluri solidaritasnya menggelora melihat kondisi lansia di Indonesia. Saya yakin beliau akan menggunakan segala daya upaya untuk memperjuangkan nasib lansia perempuan. Menuntut pemerintah membuat kebijakan pro lansia, mengajak masyarakat luas peduli lansia, serta penuh kesadaran bergerak sendiri bagi kaumnya.
Dan sudah seharusnya perayaan Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April janganlah sekadar seremonial belaka. Harus ada upaya-upaya untuk memperjuangkan hak bagi perempuan-perempuan di Indonesia, terutama bagi kartini-kartini lansia perempuan.
Pegiat isu lansia di Elederly Rights Advocacy and Treatments (ERAT) Indonesia
Dibaca:
33