Jika ada ungkapan bahwa ‘diam itu emas’, maka untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan ungkapan itu sudah tidak cocok lagi digunakan.
Memang secara tabiat, perempuan cenderung akan bersikap diam dan dingin saat mengahadapi permasalahannya dengan orang lain, apalagi dengan lawan jenis. Perempuan seringkali lebih dikuasai rasa takutnya untuk membicarakan masalahnya karena khawatir akan muncul konflik. Meskipun sebenarnya memendam perasaan seperti itu membuat gundukan problem yang semakin menindih.
***
Peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang biasanya hanya saya lihat dari berita di TV, sekarang terjadi di lingkungan terdekat saya. Di keluarga kakak saya. Cek-cok ini terjadi pada usia pernikahannya yang ke 17 tahun. Bukan waktu yang singkat untuk bisa saling mengenal di antara dua insan. Semestinya ini menjadi tahun sweet seventeen pada pernikahan mereka. Namun, jika diibaratkan sebuah pohon yang tumbuh tinggi dan diterpa angin besar yang bertubi-tubi mulailah akarnya tidak mampu lagi menopang hingga akhirnya roboh tak terkendali.
Pada suatu kesempatan kondangan, saya bisa berbicara berdua dari hati ke hati dengan kakak perempuan saya ini. Awalnya saya hanya menanyakan kesehatan ibunya yang kemarin sempat drop karena tensi tinggi. Barulah dia mulai cerita,
‘Gimana ibuku gak sakit, lawong mikirin aku. Hutangku banyak, Dik. Tapi suamiku gak mau tau. Dari dulu aku sudah pingin pisah. Tapi dari pihak suamiku minta syarat ganti rugi *00 juta jika aku cerai. Padahal selama ini aku yang nglunasin semua utang-utangnya tanpa sepengetahuan dia. Aku juga gak mau dianggap matre. Di saat dia kesulitan keuangan terus aku tinggal. Makanya aku usaha semampuku melunasi hutang-hutang itu. Tapi sebenarnya sebabnya lebih dari itu.”
***
Singkat cerita, kalau bisa saya simpulkan, masalah ini merupakan akumulasi dari berbagai masalah yang ada sebelumnya. Usaha rental mobil yang dulu dijalankan keluarga kakak saya mengalami gulung tikar hingga menyisakan hutang yang tidak sedikit dengan kliennya. Karena pernah juga menghilangkan satu unit mobil yang merupakan milik rekan usahanya.
Syukur-syukur kalau suaminya mau punya inisiatif untuk memperbaiki keadaan. Tapi ternyata tidak. Di tengah mengalami masalah itu suaminya malah semakin tempramen, sering marah-marah, suka menyalahkan, meluapkan kata-kata yang menghinakan kepada istrinya, dan tak jarang melampiaskan kemarahannya dengan membanting-banting barang.
Padahal saat itu, kakak saya dalam kondisi hamil, hingga pada akhirnya kakak saya mengalami stress berat yang mengakibatkan pecah ketuban di usia kehamilan 6 bulan, kemudian terpaksa bayinya harus dilahirkan secara premature. Setelah itu, bayi mungilnya hanya bisa bertahan di inkubator selama sepuluh hari.
Dalam kondisi tertekan saat itu, kakak saya hanya diam. Tidak berani bercerita secara terang-terangan kepada keluarga. Dia takut. Dia ada di bawah tekanan suaminya. Dan di sisi lain, dia merasa harus mempertanggungjawabkan pilihannya dulu menikah dengan suaminya yang sampai mengorbankan kuliahnya pupus.
Namun tetap saja sikap diam dalam memendam emosi negatif berbahaya bagi kesehatannya. Perempuan yang sering kali tidak dapat mengekspresikan perasaannya bisa mengakibatkan depresi. Hal ini juga terlihat pada diri kakak saya. Setelah kehilangan bayinya, berangsur-angsur badannya semakin menyusut kecil dan kurus. Karena salah satu tanda orang yang mengalami depresi adalah terjadinya penurunan berat badan secara drastis.
***
Cerita ini menjadi pembelajaran untuk semua keluarga yang harus memainkan perannya sebagai tempat mengadukan segala permasalahan. Jangan sampai orang terdekat terlambat mengetahui persoalan yang dialami anggota keluarga yang lain, hingga menyebabkan problem baru yang semakin rumit dan sulit diurai.
Kuncinya adalah komunikasi. Terjalinnya komunikasi yang baik menjadi jalan untuk mencairkan suasana yang tak lagi harmonis. Sikap diam bukan berarti tidak terjadi apa-apa. Tapi perlu ada i’tikad dari kerabat untuk mau sekedar menanyakan bagaimana kondisi hatinya hari ini.
Komunikasi yang intens antar anggota keluarga terutama antara suami dan istri ini bisa terjalin karena adanya interaksi yang baik. Sebagaimana pendapat Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail bahwa adab yang harus dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu bertutur kata yang lembut, mengungkapkan rasa cinta kasih, tidak suka mempersoalkan kesalahan, mau memaafkan ketika istri berbuat salah, menjaga harta istri, tidak suka berdebat, membiayai kebutuhan istri secara berkecukupan, memuliakan keluarga istri, dan selalu memotivasi istri.
Jika adab tersebut sudah tidak dimiliki oleh suami, sesungguhnya istri punya hak untuk hidup bahagia. Terlepas dari siksaan demi siksaan secara lahir maupun batin. Meskipun cerai adalah perbuatan yang dibenci Allah, tapi diperbolehkan secara syariat selama itu sudah membahayakan jiwa seseorang.
Dalam Islam juga menjelaskan bahwa istri berhak mengajukan talak terhadap suaminya dengan alasan sudah tidak dinafkahi, mendapatkan perlakuan kasar, dan suami telah meninggalkan hukum Allah seperti melalaikan kewajiban ibadah shalat dan puasa.
***
Cerita ini menambah deretan panjang kasus kekerasan terhadap perempuan. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan bahwa selama kurun waktu 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 800%. Angka yang cukup mencengangkan!
Namun data di lapangan diperkirakan melebihi dari prosentase itu. Hal ini karena para korban lebih cenderung diam dan tidak mau mengungkapkan kasusnya. Sejumlah faktor yang melatarbelakanginya adalah karena para korban menganggap peristiwa yang menimpanya merupakan aib yang harus ditutupi dan adanya ketakutan atas konsekuensi negatif yang nantinya akan diterima setelah memberikan keterangan.
Menurut psikolog Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, sulitnya mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan menjadikan penanganan kasus tersebut juga semakin rumit untuk diselesaikan. Apalagi ditambah dengan masih kuatnya budaya patriarkhi, ketidaksetaraan gender, penyalahgunaan relasi kuasa, dan masih minimnya perspektif HAM di Indonesia. Seringkali perempuan para korban kekerasanlah yang mendapat efek negatif dari masyarakat. Terlebih gencarnya pemberitaan di media yang selalu memojokkan korban sebagai orang yang patut disalahkan.
Sampai di sini, disadari atau tidak, kasus demi kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali tersisihkan. Peringatan Hari Kartini sepertinya tidak lagi menjadi momentum berharga untuk sejenak merefleksikan nasib perempuan untuk terus diperjuangkan. Jangan-jangan selama ini, Hari Kartini hanya diperingati sebagai agenda seremonial saja?! Entahlah! Semoga tidak.
sumber : rahma.id