Apapun kondisinya dan sampai kapanpun istilah tentang poligami selalu menjadi momok yang menakutkan bagi semua perempuan di seluruh dunia. Terutama ketika sudah menyandang predikat menjadi seorang istri. Dengan kata lain, seorang istri tidak akan pernah menyetujui berbagai macam alasan suami saat ingin menikah kembali.
Namun bukan hanya istri pertama yang tidak menginginkan ada perempuan lain dalam kehidupan rumah tangganya. Sebenarnya banyak perempuan single juga tidak ingin menjadi istri kedua, ketiga atau bahkan keempat. Terlebih statusnya akan memperoleh stigma “pelakor” (perebut laki orang). Padahal jika hal demikian terjadi, perempuan dengan status istri kedua tersebut bisa saja mempunyai tujuan mulia ingin berbakti kepada sang suami. Hanya saja keadaan yang menempatkannya di posisi kedua.
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi saya yang pernah berada di posisi sebagai istri kedua. Sebelum mengiyakan keinginan suami untuk menikah, saya banyak belajar tentang poligami. Bagaimana sejatinya seorang istri kedua memahami hak dan kewajiban, bersabar dan ikhlas, terlebih dalam masalah pembagian waktu bersama suami. Belum lagi tetap positif thinking mengartikan pandangan orang lain yang mengarah pada saya. Seakan-akan saya tega menghancurkan kebahagiaan rumah tangga suami dengan istri pertama.
***
Makna poligami adalah bertambahnya tanggung jawab seorang suami. Poligami bukanlah sebuah permainan cinta yang mengatasnamakan kebahagiaan suami. Bukan asal memiliki finansial cukup, lantas poligami bisa terjadi seenaknya. Serta bukan berdasarkan bisa berbuat adil terhadap para istri, kemudian para suami bisa menikah lagi.
Saya membaca beberapa tulisan dan fakta tentang poligami oleh seorang suami, apabila tidak terpenuhinya kebahagiaan lahir dan bathin suami bersama istri, suami mencintai perempuan lain dan tidak ingin menceraikan istri pertamanya, suami memiliki finansial lebih dari cukup, kehidupan rumah tangga suami dan istri sudah mati rasa, istri tidak bisa memberikan keturunan.
Seorang suami tidak boleh egois dengan hanya mementingkan diri sendiri sedangkan ada anggota keluarga lainnya yang kebahagiaanya bergantung padanya. Lebih bagus lagi jika istri pertama merelakan untuk dimadu dan mengijinkan suami menikah dengan perempuan lain.
Menurut pendapat saya, poligami tidak dapat dilakukan hanya karena sang suami melihat kekurangan istrinya. Dan saya berusaha menepis pandangan orang sekitar seperti keluarga dan teman-teman yang seolah-olah mengatakan bahwa poligami tersebut menguntungkan pihak istri kedua. Hal ini didukung dari perbandingan antara minoritas istri kedua yang benar-benar menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai porsi dengan mayoritas perempuan yang hanya menginginkan keuntungan dari para suami. Inilah yang menjadi penyebab kata “pelakor” muncul dan viral. Tentunya semua kembali kepada personal masing-masing.
***
Sebuah ungkapan “maha benar netizen dengan segala omongannya” sedikit tepat. Saya menyadari hanya memiliki dua tangan yang tidak mungkin membungkam mulut banyak orang tentang tuduhan pelakor dan perusak rumah tangga. Saat itu, saya memilih untuk menutup telinga dengan kedua tangan agar tidak mudah terbawa emosi. “Waktu yang akan menjawab semuanya,” begitulah kira-kira kata suami ketika tahu saya sedang bersedih memikirkan gunjingan orang. Padahal pernikahan kami juga dengan izin istri pertama dan beberapa tahun kemudian terdaftar di Pengadilan Agama setempat.
Bagi saya, sanggup berpoligami adalah menjalankan proses kehidupan bersama dengan suami dan istri sebelumnya. Sebagai pihak ketiga dalam pernikahan orang lain, saya harus belajar menghargai hak istri pertama termasuk mengingatkan suami untuk selalu berlaku adil. Bukan mentang-mentang menjadi istri yang lebih muda, saya bisa seenaknya minta perhatian lebih suami.
Pengalaman saya, perasaan cinta tidak bisa menjadi ukuran dan prasyarat utama dalam pernikahan. Saya berlagak menjadi seorang wartawan yang memberikan sejumlah pertanyaan dan salah satunya “mengapa kamu harus menikah lagi dengan perempuan lain?”. Karena kenyataannya, kehidupan rumah tangga suami dengan istrinya tidak menemui masalah serius dan fatal. Sama halnya saat suami bertanya “Mengapa kamu setuju dan mengiyakan ajakanku untuk menikah?”
Secara kebetulan saja, suami sedang dalam masa penyembuhan dari sakit dan istri pertama tidak bisa merawat sepenuhnya karena alasan kesibukan profesi. Saya yakin jika bukan karena alasan sakit, belum tentu saya memutuskan menerima pinangannya. “Masih banyak lelaki single lain,” penggalan kalimat itu yang keluar dari pikiran dan hati saya.
***
Ini bisa jadi tips untuk para perempuan lain tatkala ada seorang lelaki ingin mempersunting tapi ternyata ia adalah suami orang lain. Selain perlu berpikir ribuan kali utuk menerimanya, ada baiknya berdiskusi panjang terlebih dahulu sampai menemukan kata sepakat untuk menjalani poligami.
Menjalani pernikahan poligami itu sama saja dengan pernikahan pada umumnya. Yang berbeda hanya kita sebagai pelaku poligami terus menerus belajar tentang indahnya “berbagi suami”. Bukanlah sikap dan perilaku istri tergantung dari sang suami. Nah, memang porosnya terletak pada sikap dan pendewasaan dengan tidak henti-hentinya mengajarkan saling menghargai di antara para istri.
Ada yang bertanya pada saya “bahagia nggak pernikahannya?”, “suami bener-bener adil nggak?”. Saya hanya mampu menjawab tidak ada istilahnya berjalan mulus sempurna selamanya, karena kami berasal dari latar belakang yang berbeda dan belajar menyatukan visi misi bersama. Satu sisi ada istri pertama yang harus diutamakan hak dan kewajibannya, dan di sisi lain ada istri kedua yang juga perlu dibimbing agar bisa berjalan selaras dan seimbang.
***
Terlepas dari unsur apapun, suami yang baik adalah sosok lelaki yang mampu mendamaikan dan membahagiakan istri-istrinya tanpa harus menjelaskan kepada siapapun bagaimana proses dan caranya. Dalam pernikahan kami, ada sebuah kesepakatan yaitu untuk menghindari perselisihan di antara pihak, ketika ada permasalahan pada salah satu rumah tangga maka sebaiknya tidak menceritakan atau membukanya di rumah tangga yang lain.
Misal saya dan suami berdebat atau bertengkar tentang suatu masalah, ada baiknya istri pertama tidak perlu mengetahuinya dan sebaliknya. Tujuannya simple, agar istri pertama dan kedua tidak saling berprasangka buruk dan membandingkan.
Dari cerita nyata ini, saya menarik kesimpulan bahwa menjalani pernikahan poligami tidak mudah dan butuh jiwa yang kuat dan tegar. Sebuah keputusan yang tidak bisa diambil hanya berdasarkan cinta pada pandangan pertama dari lelaki beristri pada perempuan lain. Poligami bukan pernikahan yang disembunyikan. Tidak ada unsur kebohongan di dalamnya.
Sebuah pembelajaran dan pengorbanan bagi istri pertama untuk bisa menerima dengan tulus yang dibuktikan dengan memilih diam dan tidak menuduh istri kedua sebagai “pelakor”. Serta sebuah pilihan dan pertimbangan bagi seorang perempuan yang harus berpikir baik-baik sebelum memutuskan menjadi istri kedua. Tentunya yang lebih utama dan di atas segalanya adalah beristikharah lebih khusyu’ kepada Allah SWT agar pernikahan mampu menghadirkan kebahagiaan dunia juga akhirat.
Dibaca:
72