loading…
Rab’iah lahir dari keluarga sangat miskin dan mengharuskannya menjadi budak. Kemudian, ia menjadi sufi dan menentang perbudakan. Sebagai penyair dan sufi, ia menulis dan mempopulerkan apa yang dikenal dengan ‘The Doctrine of Divine Love’ atau “Cinta Ilahi”, dan menjadi salah satu penyair sufi terpenting di eranya. Rab’iah sendiri berguru pada ulama dan cendekiawan terkemuka Hasan Al Basri, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi).
Dalam kitab Al-Bayan wa Al-Tabyin diceritakan, bahwa orang pertama yang mendokumentasikan kisahnya adalah Al-Jahizh -yang juga orang Basrah. Barangkali, Al-Jahizh pernah bertemu Rabi’ah. Salah satu kisahnya yang sangat populer yakni tentang penolakan Rabi’ah saat ada yang hendak menanggung nafkah hidupnya karena iba melihat keadaannya. Rabi’ah menjawab “Sungguh aku malu untuk meminta harta dunia pada sang pemiliknya (Allah), bagaimana mungkin aku memintanya manusia yang mana bukan pemiliknya”.
Seperti biografi yang ditulis Dr. Rasyid Salim Al-Jarrah, kehidupan pahit Rabi’ah sudah ia jalani sejak masa kecilnya. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil dan ia tak punya apa-apa untuk mencukupi kebutuhannya. Kemudian, Rabi’ah menjadi seorang budak. Ia memiliki majikan yang zalim. Di kemudian hari majikan tersebut menjualnya pada seorang lelaki yang tak kalah zalim.(Baca juga : Belajar Patriotisme dan Hak Asasi Wanita dari Nusaibah binti Ka’ab Al-Ansariyah )
Dikisahkan, suatu malam, majikan barunya ini mendengar suara menggema seisi rumahnya, lalu ia keluar kamar mencari sumber suara, hingga kedua telinganya menuntunnya ke kamar Rabi’ah dan kedua matanya melihat hal yang tak dapat ia cerna dengan akalnya. Ia takjub melihat cara berdoa Rabi’ah yang memancarkan iman yang sangat dalam, ia pun terhenti dan mendengarkan munajat yang dipanjatkan Rabi’ah.
Pada keesokan harinya, sang majikan itu langsung membebaskan Rabi’ah dari status budaknya. “Engkau kini merdeka dan telah bebas, Rabi’ah. Kau boleh tinggal di sini atau pergi ke mana kau suka” katanya. Rabi’ah pun memilih pergi.
Al-Zabidi dalam Syarh Ihya ‘Ulumuddin menceritakan kisah tentang Sufyan Al-Tsauri dan Rabi’ah. Al-Tsauri bertanya perihal hakikat iman Rabi’ah, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka dan menginginkan surga seolah aku menjadi buruh tak patuh; jika takut majikan ia akan bekerja, jika dibayar ia baru akan bekerja. Aku menyembah-Nya karena cinta dan rinduku pada-Nya”.
Al-Huraifisy dalam Al-Raudl Al-Raiq menceritakan kisah dari Sa’d bin ‘Utsman tentang perjumpaan Rabi’ah dengan Dzinnun Al-Mishri. Dzinnun menanyainya tentang cinta , awalnya Rabi’ah enggan menjawab, ia mengelak “Subhanallah, engkau sudah mengerti tentang itu, dan engkau berbicara dengan lisan makrifat”. Namun Dzinnun memaksanya “Orang yang bertanya berhak mendapat jawaban”. Lalu Rabi’ah menjawab dengan syairnya yang masyhur “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena hasratku dan cinta karena Engkau memang memiliki cintaku”.
Rabi’ah meninggal pada umur 80 tahun. Seperti yang diceritakan Al-Sya’roni dalam Al-Thabaqat, setelah memasuki usia 80 tahun, Rabi’ah terlihat usang dan lapuk, ketika berjalan seolah akan terjatuh. Ia sakit hingga tubuhnya habis, setiap orang menangis melihat keadaannya yang demikian. Ketika ada yang menawarkan untuk memperingan sakitnya, ia menjawab “Jika sakit ini kehendak Tuhanku, bagaimana mungkin akan tolak”.