“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.” Adakah yang pernah mendengar kalimat itu? Kaum perempuan “semestinya” akrab dengannya, karena itu adalah ucapan dari seorang remaja perempuan yang pernah menjadi perbincangan dunia. Siapakah dia? Yups, tepat sekali, Malala Yousafzai. Tulisan ini akan membahas sedikit mengenai sosok tersebut berdasarkan bacaan saya terhadap buku yang ditulis langsung olehnya dengan judul “I am Malala”
Siapakah Malala?
Kedua orang tuanya bernama Ziauddin dan Toor Pekai. Nama Malala disematkan oleh kedua orang tuanya karena terinspirasi dari pahlawan perempuan yang bernama Malala. Mereka tinggal di Mingora, kota paling luas di lembah Swat yang terletak di Barat Laut Pakistan. Sejak kecil, ia mendapat didikan ayahnya untuk selalu memiliki semangat untuk belajar. Pada suatu kesempatan di umur kedua belas tahun, ketika jurnalis asing di media BBC mewawancarai; ia mengatakan bahwa cita-citanya ialah menjadi dokter, sembari mengisakkan tangis karena kondisi pendikan yang miris di tempatnya ketika itu.
Malala dan Kebebasan Perempuan
Sebelumnya terlebih dahulu saya paparkan konteks di mana Malala hidup dan menjadi sosok perempuan yang inspiratif. Sejak kecil ia selalu bertanya perihal kondisi perempuan yang ada di tempatnya. Setiap kali keluar ruangan ia mendapati mereka memakai purdah, di mana mereka menutup dirinya di publik. Beberapa, termasuk ibunya, memakai syal yang menutupi wajahnya (niqab). Tetapi yang lain memakai burqas, panjang, semacam jubah hitam yang menjulur dan menutup kepala serta wajahnya. Bahkan orang lain tidak akan bisa melihat matanya.
Ia menerangkan lebih lanjut, “Beberapa justru melakukan hal yang lebih jauh dari itu dengan menggunakan sarung tangan dan kaos kaki hitam sehingga hanya sedikit lapisan kulit dari tubuh mereka yang terlihat. Aku juga melihat para istri yang harus berjalan beberapa langkah di belakang suaminya. Aku juga melihat perempuan harus menundukkan pandangannya ketika berpapasan dengan seorang pria. Dan aku juga melihat para perempuan yang lebih tua yang pernah menjadi teman sepermainan lenyap di balik purdah segera setelah mereka menginjak remaja.”
Melihat fenomena seperti itu, Malala kecil bertekad tidak akan menutup wajahnya dengan cara seperti itu dengan alasan bahwa wajahnya adalah identitasnya. Mendengar hal itu, ibunya sempat terkaget. Sanak saudaranya mengiranya terlalu berani, beberapa ada yang mengatakan itu sikap yang kejam. Sedangkan ayahnya, hanya berkata bahwa dia harus melakukan sesuatu sesuai kata hati. “Malala akan hidup sebebas burung.” Ia berkata pada semua orang.
Malala dan Makna Pendidikan
Hal ini juga merambah dalam soal pendidikan, para perempuan di desanya—termasuk banyak dari sepupunya—tidak pergi ke sekolah. Kenapa? Karena ayah mereka memiliki cara berpikir bahwa perempuan pada akhirnya akan menikah di umur yang muda untuk kemudian hidup bersama suami mereka. “Kenapa mengirimkan anak perempuan ke sekolah?” demikianlah keberatan mereka, berpikir bahwa anak perempuan mereka tidak membutuhkan pendidikan untuk menjalankan urusan rumah tangga.
Maka perempuan yang tidak bisa membaca bukanlah pemandangan yang aneh di sana. Ketika ia bertanya pada ayahnya tentang fenomena itu, ia diberitahu bahwa kehidupan bahkan lebih buruk bagi para perempuan di Afghanistan; di mana sekelompok orang yang menamai diri mereka sebagai Taliban telah menguasai negara.
Sekolah bagi perempuan dibakar hingga bercampur tanah, para perempuan dipaksa untuk menggunakan burqa sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Mereka dilarang tertawa dengan keras atau menggunakan cat kuku dan juga diserang atau dipenjara jika ketahuan keluar rumah tanpa anggota keluarga laki-laki.
Setelah mendengar hal yang demikian itu, Malala merasa bersyukur hidup di Pakistan, namun hal yang tidak diketahui olehnya pada saat itu ialah kelompok serupa itu bukan hanya ada di Afghanistan, namun juga di Pakistan. Meski begitu, ayahnya selalu membesarkan hatinya, “Aku akan selalu melindungi kebebasanmu, Malala. Teruslah mengejar mimpi-mimpimu.”. Perkataan ayahnya selalu bisa membuatnya merasa aman, baginya, pendidikan bukan hanya soal siapa yang pantas dalam hal itu, tapi lebih pada soal hak bagi setiap orang—baik laki-laki maupun perempuan—untuk mendapatkannya.
Malala dan Kecintaan Pada Al-Qur’an
Ia bersekolah di Khushal School, di bawah pengasuhan ayahnya, di tempat itulah ia merasakan kebahagiaan karena bisa belajar Al-Qur’an dan berbagai macam ilmu dengan bebas, sebelum akhirnya sebuah tragedi yang menyedihkan menimpanya. Pada saat itu, Taliban sudah berada di Mingora, di bawah kekuasaan Maulana Fazlullah. Melalui Radio Mullah, ia menyampaikan kebijakan yang cenderung membatasi hak-hak seseorang, terutama perempuan dalam soal pendidikan.
Pernah suatu ketika, ayahnya, mendapatkan perintah untuk menutup sekolahnya. Namun sama sekali tidak dihiraukannya, sehingga sekolah itu terpaksa dihancurkan—dalam arti yang sebenarnya. Meski demikian, ayahnya tidak juga menyerah. Ketika dirasa kondisi lebih aman, ia pergi ke sekolahan dan mencari-cari barang yang bisa diselamatkan. Namun tetap saja, setelah sekolah itu kembali aktif, Taliban selalu mengintai mereka. Hingga pada puncaknya, sebuah peristiwa bersejarah terjadi.
Ketika Malala pulang dari Khushal School, selepas menjalani ujian semester, ia pulang bersama teman-temannya. Tiba-tiba saja seorang pemuda menghentikan laju bus, dan menanyakan pada sopir apakah ini bus Khushal School. Seketika si pemuda pergi ke sisi belakang bus, kemudian bertanya pada mereka, “Siapa di antara kalian yang bernama Malala?” setelah itu suara tembakan peluru terdengar sebanyak tiga kali. Malala tidak sempat menyadari sebab ia sudah pingsan, semua terasa gelap.
Alhamdulillah, meski sebutir peluru menembus kepalanya, hal itu tidak sampai mengakibatkan kematian. Setelah pingsan beberapa lama, ia terbangun, dan mendapati dia berada di tempat asing. Ia dirawat di rumah sakit Birmingham, banyak sekali orang mengelilinginya. Kemudian seorang perempuan mendekatinya, Rehanah, mulai mengelus rambutnya dan berdoa dalam bahasa Urdu, kemudian membacakan ayat Al-Qur’an, mendengar bacaan yang begitu lembut membuat Malala merasa tenang dan aman. Ia kemudian kembali tertidur.
***
Pernah seorang mufti yang berada di bawah pengaruh Maulana Fazlullah mendatangi rumahnya, mempersoalkan ayahnya yang mereka anggap tidak taat dalam agama dan sekolahnya yang tidak islami. Setelah itu, Malala berkata dalam bukunya, “Mereka salah, aku belajar mengenai Al-Qur’an di sebuah masjid terbuka, di mana laki-laki dan perempuan belajar Al-Qur’an bersama-sama. Aku jatuh cinta pada bahasa Arab dan pola-pola misterius di balik huruf-hurufnya, suara-suara dari doa-doa yang kita baca bersama, dan cerita-cerita perihal bagaimana hidup berdasarkan ajaran-ajaran Allah.” Itulah Malala, seorang remaja muslim Pakistan yang berjuang mengubah dunia. Pada 12 Juli 2013 pasca penembakan, ia bahkan berpidato di markas besar PBB dengan isu hak perempuan, perlawanan pada terorisme dan kebodohan.