Oleh: Badriyah Fayumi
Ketika perempuan di dunia Islam menggeliat menyuarakan haknya, banyak orang merasa tersentak, terutama mereka yang selama ini hidup nyaman dengan sistem patriaki. Yang muncul kemudian adalah resistensi terhadap segala gerakan yang ditengarai menyuarakan hak-hak perempuan. Dari yang menganggap gerakan itu sebagai adopsi barat, sampai yang menganggap tidak ada dasarnya dalam Islam.
Memang, jika kita merunut sejarah Islam sejak zaman klasik sampai sekarang, gerakan perempuan selalu berhadapan dengan arus besar yang tidak menghendaki perubahan akibat gerakan itu. Namun, tidak berarti bahwa gerakan perempuan dalam Islam tidak ada dan tidak diakui agama. Teks-teks suci keagasmaan menunjukkan bahwa gerakan perempuan, terutama di awal Islam, memiliki bobot dan pengaruh terhadap rumusan ajaran-ajaran formal keagamaan pada masa Nabi Muhammad saw.
Tulisan ini akan mencoba sedikit menguak gerakan perempuan yang terjadi pada masa Rasulullah saw, untuk membuktikan gerakan perempuan dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru, apalagi dianggap tidak berdasar. Tulisan ini menampilkan Rasulullah karena dua hal. Pertama, Rasulullah diakui sebagai panutan seluruh umat Islam, baik dalam ucapan, perbuatan, penetapan, sifat maupun sistem nilai yang dibentuknya.
Selain itu, generasi sahabat yang hidup semasa Rasulullah diakui secara aklamasi sebagai generasi Islam terbaik. Kedua, dinamika gerakan perempuan yang terjadi pada masa sahabat tidak terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ketika peradaban Islam sedang berada di puncak peradaban dunia, di masa Abbasiyah. Barulah pada akhir abad kesembilan belas, ketika Islam menyadari ketertinggalannya, gerakan perempuan Islam akhirnya muncul. Menyusul kesadaran perlunya kebangkitan Islam pasca kolonialisme.
Alquran dan Perjuangan Perempuan
Sebagaimana disinggung sebelumnya, gerakan perempuan memiliki pengaruh langsung terhadap turunnya ajaran-ajaran agama, khususnya yang menyangkut hak-hak perempuan. Alquran menyatakan dengan sangat jelas pengaruh tersebut. Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang mengakomodir aspirasi perempuan yang turun segera setelah ada suara dari perempuan.
Sebagai contoh, ayat 35 Surat Al-Ahzab yang secara eksplisit mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan di mata Tuhan, turun setelah Ummu Salamah ra mempertanyakan pada Nabi mengapa kaum perempuan dalam Alquran tidak diungkap sebagaimana kaum laki-laki.
Tidak lama kemudian, ketika Nabi berkhotbah di atas mimbar, Nabi mengatakan bahwa Allah Swt telah menurunkan ayat “Orang-orang Islam laki-laki dan orang-orang Islam perempuan, orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan, …..dst. Kepada mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.” Demikian disebutkan dalam kitab-kitab tafsir dari hadist riwayat Imam Nasa’i dan Ibnu Jarir Abdul Wahid bin Ziyad.
Alquran juga merekam peristiwa pertikaian pasangan suami-istri Khaulha binti Malik bin Tsa’labah dengan suaminya Aus bin Shamit. Khaulah mengadu kepada Nabi bahwa suaminya telah men-zihar-nya (menyerupakan fisik istri dengan ibunya sehingga si istri menjadi haram digauli oleh suaminya). Setelah zihar itu, sang suami terus memaksanya untuk melakukan hubungan seksual. Namun Khaulah selalu bersikeras menolak dengan berbagai cara, sampai suaminya menjauh dari Khaulah. Mendengar pengakuan itu, Nabi terdiam. Beberapa saat kemudian, beliau berkata kepada Khaulah yang menolak disetubuhi, sekaligus memberikan penjelasan mengenai hukum suaminya yang men-zihar istrinya.
Pembelaan Alquran kepada perempuan juga spontan turun ketika Abdullah bin Ubayy bin Salul, gembong kaum munafik, mencoba melacurkan Mu’adzah yang hamil . Dan saat melahirkan anak, anak itu akan ditebus dengan harga mahal oleh Ubbay. Mu’adzah menolak hal tersebut. Nabi memberikan sebuah pembelaan yang sangat jelas terhadap perempuan seperti Mu’adzah. Bagi perempuan yang dipaksa untuk dilacurkan, Allah secara tegas menyatakan bahwa mereka adalah Maha Pengampun dan Pengasih.
Tiga kasus di atas dengan jelas menunjukkan keberanian perempuan menyuarakan haknya telah ada di zaman Nabi. Ummu Salamah memperjuangkan hak istri, sementara Mu’adzah memperjuangkan hak reproduksinya dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Sekalipun mereka dalam tiga kasus ini mereka kebetulan berbicara sendirian, sesungguhnya mereka menyuarakan suara perempuan secara umum. Yang perlu kita garis bawahi di sini, keberanian itu muncul kerena ikim perempuan, termasuk paling pribadi sekalipun.
Kurang lengkap rasanya mengurai perjuangan (baca:gerakan) perempuan Islam masa awal tanpa menyinggung dua peristiwa besar yang menunjukkan keteguhan dan kemandirian kaum perempuan dalam menentukan sikap hidupnya. Peristiwa itu adalah Bai’at an-Nisa’ (Bai’at keislaman kaum perempuan) dan Hijrah ke Madinah.
Dalam Bai’at an-Nisa, Allah memerintahkan Nabi untuk membai’at dan memintakan ampunan kepada perempuan yang secara sadar datang bersama-sama untuk berbai’at. Untuk menguji kesungguhan kaum perempuan ini, Rasulullah—sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadis sahih berdasarkan kesaksian Umaimah binti Ruqaiqah, salah seorang perempuan Anshar peserta bai’at mengajukan banyak pertanyaan kepada sekelompok yang hendak berbai’at ini. Peristiwa bai’at ini terekam dengan gamblang dalam surat al-Mumtahanan ayat 12.
Peristiwa lebih dramatis terjadi juga pada beberapa perempuan yang secara sadar meninggalkan segala kemewahan hidup dan keluarganya yang masih memusuhi Islam untuk ikut hijrah ke Madinah bersama Nabi. Menghadapi perempuan teguh seperti ini, lagi-lagi Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk menguji keteguhan imannya.
Jika benar-benar bulat tekadnya, maka mereka harus dilindungi dari ancaman dan serangan yang mungkin dilakukan keluarganya. Ummu Habibah, putri Abu Sufyan pembesar Kuffar Makkah yang kelak menjadi istri Nabi, merupakan satu di antara para perempuan yang teguh ini. Perjuangan para perempuan yang hijrah meninggalkan keluarganya ini diabadikan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10-12.
Ilustrasi di atas menunjukkan, sejak awal perempuan Islam sudah memiliki kesadaran kolektif untuk menyatakan sikap hidupnya, walapun harus berhadapan dengan risiko besar. Meskipun demikian, kesadaran kolektif itu belum terjalin dalam sebuah gerakan perempuan yang sistematis seperti saat ini.
Al-Hadis dan Perjuangan Perempuan
Meneropong apa yang terjadi dalam gerakan perempuan islam dalam sejarah, sangat mustahil jika tidak membuka hadis Nabi. Hadis Nabi merupakan bukti otentik atas dinamika yang terjadi di masa itu, termasuk dinamika gerakan perempuan Islam.
Kalau kita melihat hadis Nabi yang berbicara mengenai perempuan, kita temukan bahwa sebagian besar hadis muncul karena ada pertanyaan atau kasus yang dialami perempuan. Seperti masalah relasi suami istri. Baik relasi seksual maupun relasi keseharian, dan bagaimana peran publik dan sosial perempuan, merupakan beberapa bukti betapa inisiatif dan aspirasi perempuan menjadi sebab utama munculnya hadis-hadis tersebut.
Sepintas lalu, proses munculnya ajaran tentang perempuan yang demikian tampaknya meneguhkan anggapan bahwa agama kurang menaruh perhatian pada perempuan. Namun, jika dilihat dari perspektif yang lain, hal justru itu merupakan fakta betapa agama tidak semena-mena dalam memberikan peraturan menyangkut perempuan.
Nabi sebagai pembawa risalah sangat menyadari bahwa beliau adalah seorang laki-laki yang tidak serta merta memahami seluk beluk perempuan. Karenanya, beliau perlu mendengar suara perempuan sebelum memberikan satu keputusan agama. Sikap ini sangat kontras jika dibandingkan dengan kecenderungan sebagian ahli agama yang merasa paling tahu dan karenanya merasa paling berhak membuat aturan tentang perempuan.
Padahal, kalau Rasulullah berkenan, dengan mengatas namakan wahyu Tuhan, semua peraturan bisa dibuat. Namun Rasulullah tidak melakukan hal itu. Rasulullah tidak memonopoli suara perempuan dengan menjadikan agama sebagai senjata. Sebaliknya, agama ditempatkan Rasulullah sebagai ruang dialog yang bisa mewadahi aspirasi pemeluknya, tidak terkecuali kaum perempuan.
Harus diakui, langkah yang ditempuh Nabi ini merupakan apresiasi besar terhadap keberadaan kaum perempuan. Ini merupakan suatu hal yang luar biasa, mengingat tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup dan kebiasaan mewarisi dan menjadikan perempuan bak barang tinggalan, menguasai sistem sosial yang berlaku saat itu. Sikap Rasulullah yang akomodatif ini membuat sahabiyat (sahabat perempuan Nabi) merasa bebas menyuarakan aspirasinya. Pada gilirannya, situasi ini menyuburkan gerakan perempuan Islam di masa Nabi saw.
Sejarah mencatat bahwa majelis taklim untuk perempuan yang menjadi cikal bakal munculnya komunitas Islam pada masa Nabi telah ada. Dan seperti disinggung di atas, alasan terbentuknya majelis taklim ini adalah kebutuhan sahabiyat akan ilmu agama sebagaimana sahabat laki-laki. Mereka meminta Nabi untuk menyediakan waktu khusus untuk perempuan karena merasa perhatian Nabi kepada laki-laki lebih besar daripada kepada mereka. Nabi langsung menyetujui keinginan itu.
Persamaan keinginan untuk belajar ini pada gilirannya membuat sahabiyat memiliki semacam komunitas bersama. Tercatatlah nama Asma’ binti Yazid, seorang sahabiyat cerdas yang diangkat menjadi juru bicara para sahabiyat. Suatu kali di hadapan para sahabat laki-laki, Rasulullah memuji kemampuan Asma’ ini. Lagi-lagi tema yang diangkat dan mendatangkan pujian nabi ini mengenai persamaan hak perempuan dan laki-laki..
Pertanyaan Asma’ di atas adalah persoalan kolektif yang dikemukakan secara kolektif pula. Sahabiyat biasa mengajukan pertanyaan dan mengadukan persoalan mereka di masjid atau dalam suatu forum terbuka. Ini merupakan salah satu cara sahabiyat menyampaikan aspirasi perempuan. Cara lain adalah langsung bertanya kepada Nabi secara pribadi, sesekali juga melalui istri Nabi. Pertanyaan langsung secara pribadi pada Nabi umumnya dilakukan sahabiyat jika persoalannya bersifat spesifik, seperti istihadhah atau menyangkut relasi suami istri.
Menyampaikan aspirasi, baik yang bersifat memperjuangkan hak perempuan atau mencari tahu ajaran agama menjadi tradisi yang tumbuh subur di kalangan sahabiyat, terutama di kalangan Anshar. Tidak heran jika Ummul Mukminin Aisyiah ra memuji sikap perempuan Anshar yang tidak dihalangi rasa malu dalam tafaqquh fiddin. Imam Bukhari mengabadikan pujian Aisyiahini menjadi judul bab dalam salah satu bahasan tentang ilmu dalam kitab Sahih Bukhari-nya. Sementara Imam Muslim menyitir pernyataan itu dalam suatu hadis mauquf dalam Sahih Muslim-nya.
Catatan Penutup
Apa yang dipaparkan ini sesungguhnya belum merekam seluruh peristiwa yang bisa kita sebut sebagai gerakan perempuan Islam di masa awal. Namun demikian, dari berbagai peristiwa dan catatan sejarah yang terekam dalam alquran dan hadis, kita dapat melihat kecenderungan umum yang sangat menarik. Baik dari sudut perempuan selaku komunitas yang memperjuangkan haknya, maupun dari sudut Nabi selaku pemegang otoritas keagamaan dan kemasyarakatan.
Dari sudut perempuan, tampak jelas bahwa hak-hak perempuan itu ada, baik secara kolektif maupun pribadi. Tanpa itu, sangat mungkin aspirasi perempuan tak terwadahi karena pemegang otoritas kebetulan seorang laki-laki. Dari sudut Nabi, beliau telah memberikan contoh yang sangat ideal mengenai bagaimana seharusnya seorang laki-laki pemegang otoritas mewadahi aspirasi perempuan.
Dalam kedudukannya sebagai Nabi yang punya hak penuh mengatur ummatnya, Muhammad saw tidak semena-mena membuat aturan mengenai perempuan dengan mengatasnamakan agama tanpa memperhatikan sungguh-sungguh aspirasi kaum perempuan.
Konfigurasi dari dua sisi yang saling mengisi itu kemudian membuka kemungkinan perempuan untuk menyuarakan aspirasi kaumnya. Jika sahabat yang merupakan contoh terbaik generasi Islam saja tidak ragu-ragu memperjuangkan hak dan aspirasi mereka, layakkah kita yang hidup di era modern ini tidak berani menyuarakan hak dan aspirasi kita dalam sebuah wadah besar yang bernama gerakan perempuan?