masturah.com – Rakyat Indonesia sangat religius, bahkan dinobatkan sebagai yang paling religius – bersama Filipina – di dunia. Hal ini dibuktikan oleh Pew Research Ceter (PRC), yang merilis hasil survei pada medio 2020. Berdasarkan kuesioner yang diajukan terungkap bahwa, pertama, masyarakat Indonesia (96%) meyakini bahwa kepercayaan kepada Tuhan berbanding lurus dengan moralitas. Kedua, ketiga, dan keempat, mengakui pentingnya agama (98%), berdoa atau sembahyang (96%), dan Tuhan (98%) dalam kehidupan mereka. Sampai titik ini, religiusitas bangsa Indonesia tidak terbantahkan.
Selain itu, Indonesia juga berdiri di atas pondasi agama (religi), Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka sudah sepatutnya nilai-nilai religius itu tertanam di setiap sendi negara, wilayah, pemerintahan, dan terutama rakyatnya. Sehingga wajar jika disana sini terdapat wisata – lengkap dengan hotel dan kulinernya – bertema religi. Bahkan apartemen dan komplek perumahan bertema religi. Pemerintah sudah jauh-jauh hari membentuk MUI, dan belakangan Bank Syariah Indonesia (BSI).
Kerumitan kemudian muncul ketika bangsa yang paling religius dirundung problem moralitas yang berkepanjangan. Mulai dari korupsi, caci maki, umbaran benci, hingga diskriminasi dan persekusi yang kadang berujung mati. Belakangan, rakyat Indonesia – diwakili netizen, warganet – dinobatkan sebagai yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara oleh Microsoft melalui laporan riset yang dilakukan untuk mengukur tingkat kesopanan digital (Digital Civility Index).
Penelitian yang dilakukan Microsoft memang terbatas hanya pada warganet. Tetapi, jumlah pengguna internet dan media sosial Indonesia juga tidak sedikit, masing-masing mencapai 73,7% dan 61,8% dari total populasi pada Januari 2021. Persentase ini hampir setara dengan usia produktif penduduk Indonesia pada 2019 (usia 15-64 tahun), 68,7%. Sehingga dapat dikatakan pula hampir semua orang Indonesia, yang sudah berakal (baligh) dan belum pikun, mukallaf adalah warganet. Dengan kata lain, warganet lebih dari cukup untuk mewakili warga negara Indonesia. Dan pada gilirannya muslim Indonesia.
Problematika di atas seakan menegasikan keyakinan bahwa religiusitas membuahkan moralitas. Sehingga wajar, meski dianggap religius, masyarakat Indonesia juga dituding amoral. Karena itu tidak sedikit pula yang mempertanyakan bagaimana bisa agama kehilangan moralitas? Ataukah memang moralitas muncul secara independen, terpisah dari intuisi agama? Pernyataan terakhir ini mengambil contoh moralitas yang muncul dari seorang atheis, yang memandang tidak perlu agama untuk menjadi bermoral.
Hemat penulis, tidak ada yang salah dengan keyakinan bahwa sikap religius akan berbuah moralitas. Letak kekeliruannya justru ada pada pemaknaan agama yang dipersempit. Kekeliruan ini juga tampak dalam kuesioner yang diajukan PRC, yang menilai religiusitas hanya berbasis empat poin yang disebutkan terdahulu. Sehingga wajar jika beragam survei bertolak belakang dengan keyakinan ini.
Mestinya, agama dan moral dimaknai sebagai suatu kesatuan yang utuh. Sehingga orang yang bermoral (baik) adalah religius. Sebagaimana yang disampaikan Gus Mus bahwa isi dari keseluruhan agama adalah akhlak. Sehingga seseorang yang baik moralnya berarti baik agamanya, dan sebaliknya. Kesatuan agama dan moral juga memberi konsekuensi – yang sering dihindari – bahwa orang yang tidak beragama adalah tidak bermoral.
Innama buitstu li utammima makarim al-akhlaq (HR. Bukhari). Nabi Muhammad SAW, sebagai penutan agama adalah orang yang paling religius sekaligus berakhlak (bermoral). Sepakat bukan? Tidak ada yang lebih dicintai Allah selain dia. Bahkan, alam semesta beserta isinya hanyalah percikan cinta dari Sang Kasih pada kekasih-Nya. Kekasih yang menebar kasih pada semesta dengan moralitas yang agung – akhlak yang mulia, yang bahkan belum paripurna.
Kita sering mendengar bahwa – misalnya – seberapapun bersihnya Denmark dari korupsi tidak menghilangkan status sebagai negara non muslim. Meskipun, pernyataan ini adalah sebuah kebenaran yang harus diyakini bagi seorang muslim, namun menyampaikannya kepada warga Denmark tetap merupakan tindakan amoral. Dalam bahasa jawa terdapat sebuah ungkapan yang sangat populer, bener durung karuan pener.
Hal ini semata-mata untuk menghindari celaan terhadap agama lain, karena pasti berujung pada celaan terhadap Allah secara membabi buta. Narasi yang kemudian berkembang – meski terdengar kontradiktif – adalah bahwa misi kerasulan Muhammad adalah sebagai penebar rahmat dan menyempurnakan moral, bukan untuk mengislamkan dunia. Yang jelas, agama tidak mengajarkan pemaksaan dalam bentuk dan dengan tujuan apapun. La ikraha fi al-din.
Penulis bukannya tidak sependapat bangsa Indonesia dianggap paling religius. Lebih tepatnya, penulis tidak sepaham pada religiusitas yang dimaknai secara sempit dan terbatas. Hanya bertumpu pada relasi vertikal dengan yang sakral tanpa kesalehan sosial. Akhirnya, meminjam jimat para politisi, “biarkan publik yang menilai”. Dan semoga jiwa keadilan sosial itu kembali menyatu dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam raga Pancasila. Amin. (AN)