Hidayatullah.com | SERINGKALI kita mendengar kisah “orang pertama dalam Islam”. Baik itu di sekolah (khususnya pesantren) dalam mata pelajaran shirah nabawiyyah, maupun di majelis ta’lim yang di sampaikan oleh muballigh/ah.
Orang pertama yang masuk Islam di kalangan laki-laki ialah Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Di kalangan perempuan ialah Khadijah radhiyallahu ‘anha, di kalangan pemuda ialah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dsb.
Atau kisah lainnya yang terkenal seperti Sumayyah binti Khubath radhiyallahu ‘anha yang menjadi syahidah pertama dalam Islam. Kemudian di susul suaminya, Yasir radhiyallahu ‘anhu, yang juga menjadi syahid pertama dalam Islam.
Namun, apakah kalian tahu siapa muslimah pertama yang membunuh orang musyrik? Berikut kisah tentang keberanian beliau dalam menegakkan agama Islam.
Perempua Islam Pertama
Beliau bernama Shafiyyah binti ‘Abdul Muththalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Ayahnya, ‘Abdul Muththalib adalah tokoh dan pemimpin kaum Quraisy yang juga seorang kakek dari Muhammad ﷺ. Ibunya, Halah binti Wahab, saudari Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah ﷺ. Dengan kata lain, beliau adalah bibi Rasulullah ﷺ dan juga saudari dari sang “Singa Allah”, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib radhiyallhu ‘anhu.
Suami pertamanya adalah Harits bin Harb, saudara Abu Sufyan bin Harb, pemimpin Bani Umayyah. Namun kemudian mati meninggalkannya. Setelah itu, Shafiyyah radhiyallahu ‘anha menikah dengan Awwam bin Khuwailid, saudara Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah ﷺ. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang anak bernama Zubeir bin Awwam radhiyallhu ‘anhu.
Masuk Islam
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul, banyak kaum Quraisy yang menentang dan sedikit sekali yang menerima dakwahnya, baik dari kerabat maupun yang lainnya. Dan ketika Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat,
(وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ)
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Qur’an Surat asy-Syu’aro: 214)
Rasulullah ﷺ menyeru kepada semua kerabatnya baik yang tua, muda, laki-laki, ataupun perempuan. Kemudian beliau ﷺ naik ke bukit Shofa seraya berseru, “Wahai Fathmah binti Muhammad! Wahai Shafiyyah binti ‘Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdul Muththalib! (selamatkan dirimu dari neraka), sungguh aku tidak mampu menolong kalian dari adzab Allah sedikitpun, mintalah hartaku sesuka kalian.” (Hadits Riwayat Muslim)
Kemudian bergabunglah Shafiyyah radhiallahu ’anha dalam bahtera Islam bersama anaknya Zubair bin Awwam radhiallahu ’anhu. Shafiyyah radhiyallahu ‘anha berjuang bersama kaum muslimin lainnya dalam meneggakan keyakinan mereka dan dalam menghadapi penentangan dari kaum Quraisy. Kemudian ia hijrah bersama anaknya ke Yatsrib atau sekarang di kenal dengan Madinah.
Perempuan Pintar dan Perkasa
Shafiyyah radhiyallahu ‘anha tumbuh menjadi perempuan fasih, bisa membaca, berwawasan, ahli bahasa, juga ahli menunggang kuda layaknya ksatria. Tak hanya itu, Shafiyyah radhiyallahu ‘anha juga adalah seorang ibu yang tangguh, beliau merawat dan membesarkan anaknya sendiri semenjak suaminya, Awwam bin Khuwailid wafat.
Shafiyyah radhiyallahu ‘anha mendidik anaknya, Zubeir dengan kehidupan yang keras. Ia didik anaknya untuk cekatan menunggang kuda dan perang.
Bahkan, mainan yang ia berikan adalah anak panah dan busur. Ia biasakan anaknya untuk mengahadapi situasi-situasi mencekam, dan ia dorong untuk menghadapi segala bahaya, bahkan ia tak ragu untuk memukul anaknya dengan keras nan menyakitkan kala si anak terlihat diam atau ragu.
Sampai-sampai salah seorang paman dari anak ini menegur Shafiyyah karena didikannya yang begitu keras, ia berkata, “Memukul anak tidaklah seperti itu. Kau memukulnya dengan pukulan benci, bukan pukulan seorang Ibu”.
Mendengar kata-kata itu, lantas Shafiyyah radhiyallahu ‘anha menjawab dalam untaian syair;
Siapa yang berkata aku membencinya, ia bohong
Aku memukulnya agar ia menjadi cerdas
Mengalahkan pasukan musuh dan membawa pulang rampasan
Berkat didikan beliau, Zubair bin Awwam radliyallahu ‘anhu menjadi salah satu ksatria Rasulullah ﷺ yang keberaniannya disamakan Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu seperti seribu lelaki kala mengutusnya sebagai bala bantuan bagi pasukan muslimin di Mesir. Bahkan sejarah mencatat bahwa Zubair bukan hanya setara dengan seribu lelaki saja, tapi setara dengan seluruh umat.
Mengapa demikian? Karena ia pernah menyusup ke dalam benteng yang menghalangi perjalanan pasukan muslimin, ia naik ke atas tembok-tembok benteng, dan melompat ke arah pasukan musuh dengan teriakan, “Allahu Akbar”. Dengan cepat, ia menuju pintu gerbang lalu membukanya, hingga pasukan muslimin dapat masuk ke dalam benteng dan menumpas musuh sebelum mereka sadar.
Jihad di Jalan Allah
Meski kala itu usianya menginjak sekitar 60 tahun, namun di medan jihad, ia berperang dengan pedang dan tombak layaknya pemberani, dan menunggang kuda layaknya ksatria.
Saat perang Uhud, Shafiyyah radhiyallahu ‘anha pergi bersama sekelompok perempuan untuk berjihad di jalan Allah. Ia membawa air, memberi minum pasukan yang kehausan, mengarut anak panah, dan mengobati luka para korban.
Ketika kekalahan dan musibah menimpa kaum muslimin di perang Uhud, mereka berhamburan dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat serangan secara terbuka dari kaum Quraisy. Pada saat itu, Shafiyyah radhiyallahu ‘anha bangkit dengan kemarahannya dengan sebuah tombak ditangannya, lalu ia berdiri di hadapan kaum muslimin sembari berteriak kepada mereka, “Apa-apaan kalian ini! Patutkah kalian lari meninggalkan Rasulullah ﷺ?”
Kekalahan dan musibah yang menimpa kaum muslimin di perang ini, amat berat bagi mereka juga Rasulullah ﷺ, karena banyak sahabat yang mati syahid, bukan hanya ditebas pedang saja, tetapi tubuhnya pun dipotong-potong oleh kaum Quraisy. Salah satu di antara mereka ialah Hamzah bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu, paman Nabi ﷺ yang tak lain saudara dari Shafiyyah radhiyallhu ‘anha.
Saat Rasulullah mengetahui apa yang terjadi pada pamannya, beliau memerintahkan kepada Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu untuk menemui ibunya, Shafiyyah radhiyallahu’anha dan mengajaknya pulang, khawatir tidak kuat dan tahan saat melihat jasad Hamzah radhiyallahu ‘anhu yang sudah terpotong-potong itu. Namun, Shafiyyah radhiyallahu ‘anha menolak seraya berkata, “Mengapa (aku tidak boleh melihatnya), aku telah mendengar saudaraku telah dibunuh secara sadis, dan itu di jalan Allah…”
Dengan kesabaran, ketabahan, dan ketegaran Shafiyyah radhiyallahu ‘anha melihat jasad saudaranya tergeletak tak bernyawa yang dibunuh secara sadis oleh kaum Quraisy, ia mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuknya. Beliau hanya berharap pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala serta rela terhadap takdir-Nya.
Perang Khandaq
Setiap kali Nabi ﷺ hendak pergi berperang, beliau menempatkan para perempuan, orang tua dan anak-anak di tempat yang aman. Dan pada saat Rasulullah ﷺ pergi ke Khandaq, beliau menempatkan mereka di dalam benteng Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, karena inilah benteng Madinah yang paling kokoh.
Saat kaum muslimin sibuk dengan Perang Khandaq, kaum Yahudi mengutus seseorang untuk memata-matai para perempuan di benteng.
Saat mengendap-endap, Shafiyyah radhiyallahu ‘anha melihat pria tersebut. Shafiyyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku kemudian mengambil balok kayu, kemudian aku bawa turun. Aku membuka pintu secara perlahan, setelah itu aku menyerang Yahudi itu. Aku memukulnya dengan balok hingga tewas.”
Begitulah peristiwa ini terjadi, sehingga menjadikan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha sebagai perempuan pertama yang membunuh seorang musyrik.
Ranjang Kematiannya
Shafiyyah radhiyallahu ‘anha meninggal dalam usisa 70 tahun lebih, tahun 20 H pada masa Umar bin Khattab, dan di kuburkan di Baqi. Teladan yang dapat kita ambil dari kisah beliau adalah bagaimana menjadi seorang ibu yang mendidik anaknya dengan pendidikan yang pantas, baik, dan benar.
Ia tidak membiarkannya lalai terhadap ajaran-ajaran Islam, bahkan mendidik seorang anak untuk membela dan menegakkan agama Islam. Karena ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Tidak seperti yang dapat kita lihat pada jaman sekarang ini, banyak anak yang justru lemah bahkan jauh dari agama.
Salah satu faktor penyebabnya adalah karena kelalaian orang tua khususnya seorang ibu dalam mendidik anaknya. Hal ini sangatlah berpengaruh terhadap seorang anak jika tidak dididik dengan benar. Jika hidupnya tidak ditanami dengan ajaran Islam, mereka pasti sangat mudah sekali terpengaruhi oleh media/aplikasi yang dapat di-install dengan mudah di android, yang justru dapat menghancurkan moral/akhlak generasi saat itu bahkan generasi selanjutnya.
Selain itu, kesabaran dalam menghadapi ujian yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dengan kematian saudaranya, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu, dapat dijadikan contoh dalam kehidupan kita. Menerima segala takdir yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada kita. Karena sesungguhnya dibalik hal itu, terdapat hikmah dan kebaikan yang dapat kita ambil dan dijadikan pelajaran di dalamnya.*/ Hana Nur Fauziyyah Idris, mahasiswi STIBA Ar Raayah Sukabumi