Zubaidah sebagai ulama perempuan, meski ia putri khalifah, dan istri dari seorang khalifah telah membuktikan, bahwa perempuan mampu untuk memimpin, mengorganisir, dan menjadi dirinya sendiri.
masturah.com – Ulama perempuan, dalam perspektif Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlak karimah), menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ‘alamien).
Kemudian, ulama perempuan juga takut atau takwa kepada Allah SWT, tidak hanya untuk urusan kemanusiaan secara umum tetapi juga dalam urusan perempuan secara khusus. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga.
Begitu pun berakhlak mulia, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kali ini, saya ingin mengenalkan ulama perempuan Zubaidah binti Ja’far al-Manshur, yang saya ringkaskan dari buku “Perempuan Ulama di atas Panggung Sejarah”, karya KH. Husein Muhammad. Dalam buku tersebut tertulis, Zubaidah adalah putri Khalifah AbuJa’far al-Manshur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyah.
Zubaidah lahir di kota Mosul, Irak, pada 766 M. ibunya bernama Salsabil. Ia menikah dengan Harun ar-Rasyid, yang kemudian menjadi khalifah yang masyhur. Zubaidah wafat di Baghdad, tahun 831 M, dan dimakamkan di kuburan Quraisyi.
Melalui buku tersebut, KH Husein Muhammad menceritakan bahwa Zubaidah merupakan perempuan cerdas dan baik hati. Ia sangat mencintai ilmu pengetahuan dan sastra. Ia juga seorang perempuan penyair. Konon, ia sering mengundang para cendekia dan sastrawan terkemuka ke istananya untuk berdiskusi tentang sastra dan pembacaan puisi. Beberapa di antara mereka ialah Abu Nawas, Husein bin adh-Dhakak, al-Jahizh (sastrawan, filsuf, dan ilmuwan), Muslim bin al-Walid, Abu al-‘Athiyah dan lain-lain.
Pada masa itu, sastra dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Baghdad menjadi pusat peradaban dunia. islam mengalami zaman keemasan atau disebut oleh Barat sebagai “The Golden Age”. Kesuksesan kepemimpinan Harun ar-Rasyid lebih ditentukan oleh istrinya. Zubaidah inilah yang berada di belakang kebijakan-kebijakan pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Zubaidah merupakan seorang ibu negara yang sangat cakap dalam membantu tugas-tugas suaminya. Ia tak segan berbagi tugas ketika suaminya hendak ke luar kota, untuk melakukan ekspansi pemerintahan dan lain-lain. Bahkan lebih dari itu, Zubaidah tidak hanya dikenal sebagai permaisuri khalifah yang agung, tetapi juga seorang ulama perempuan.
Zubaidah juga dikenal sebagai ahli fiqih dan ahli ibadah. KH. Husein Muhammad menegaskan, konon ia memiliki seratus pelayan perempuan yang hafal al-Qur’an. Mereka setiap hari secara bergiliran melakukan “sema’an” al-Qur’an di istana.
Selain itu, Zubaidah mengusulkan dan mendorong suaminya untuk membangun sarana-sarana serta fasilitas-fasilitas pendidikan, gedung kesenian, serta mendirikan perpustakaan yang kemudian diberi nama “Baitul Hikmah” atau Rumah Kebijaksanaan yang berfungsi sebagai tempat menghimpun buku-buku dan karya-karya ilmu pengetahuan dari seluruh penjuru dunia, juga sebagai lembaga penelitian dan penerjemahan.
Selanjutnya, Zubaidah juga meminta suaminya untuk mendirikan Majelis al-Mudzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana kerajaannya.
Membangun Mata Air Zubaidah
Kedermawanan sosok ulama perempuan Zubaidah juga dikenal luas hingga lintas negara pada masa itu. Ia menggunakan kekayaan dan kedudukannya di Dinasti Abbasiyah untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan, yang konon tak tertandingi oleh kaum laki-laki.
Zubaidah juga membiayai ratusan orang yang beribadah haji. Pada suatu hari, ia pergi berhaji ke Baitullah bersama mereka dan mendapati orang-orang sulit mendapatkan air minum. Zubaidah memanggil bendahara dan memerintahkan untuk menyediakan insinyur dan arsitek bangunan.
Mereka diperintahkan membuat saluran air sepanjang sepuluh kilometer dari Makkah hingga Hunain. Disebutkan pula, untuk keperluan pembangunan saluran air ini, Zubaidah menghabiskan sekitar 1.500.000 dinar. Sumber lain menyebutkan nilainya 1.700.000 dinar.
Zubaidah mengusulkan dan mendesak suaminya Khalifah Harun ar-Rasyid untuk membangun saluran air yang menghubungkan ke Makkah sepanjang 10 km. saluran air yang kemudian dikenal dengan nama “Ain Zubaidah” (mata air Zubaidah) itu sangat bermanfaat bagi jamaah haji selama berabad-abad.
Dalam kisah Zubaidah binti Ja’far al-Manshur ini, KH Husein Muhammad mengakhirinya dengan tulisan apik dari penulis biografi tokoh perempuan, Al-Yafi’I, dalam bukunya A’lam an-Nisa’, dengan menyebutkan bahwa mata air Zubaidah tersebut sebagai “Sebuah bangunan yang amat kokoh di atas gunung yang sulit untuk digambarkan keindahannya. Jejaknya masih terlihat dan mencakup bangunan besar yang mengagumkan.”
Maka penting kiranya untuk menuliskan dan menceritakan kembali figur-figur ulama perempuan yang mempunyai peran besar dalam sejarah, namun jarang tercatat dan terpublikasikan. Bagaimana perempuan hadir secara utuh sebagai “diri” perempuan, tanpa harus terbebani atau dikaitkan dengan nama orang tua atau suami. Dan Zubaidah sebagai ulama perempuan, meski ia putri khalifah, dan istri dari seorang khalifah telah membuktikan, bahwa perempuan mampu untuk memimpin, mengorganisir, dan menjadi dirinya sendiri. []
sumber : Mubadalah.id