Oleh : Muhbib Abdul Wahab*
Salah satu ulama kharismatik yang menaruh perhatian penting terhadap perempuan adalah Bediuzzaman Said Nursi (1887-1960). Said Nursi memahami eksistensi perempuan sebagai salah satu manifestasi tajalli (perwujudan, aktualisasi) sifat Allah yang Mahaindah (Jamil). Baginya, perempuan merupakan sosok pahlawan dari sifat kasih sayang (rahmah), welas asih (ra’fah), lemah lembut (hanan) dan cinta kasih (syafaqah). Karena sifat-sifat indah inilah, perempuan layak menjadi soko guru pendidikan keluarga, anak-anak, dan bangsa.
Pemikiran-pemikiran Nursi tentang perempuan menjadi kepedulian dalam beberapa karya monumentalnya, Kulliyat Rasa’il an-Nur (Risale-i Nur), terutama Hanimlar Rehberi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Tuntunan bagi Perempuan oleh Penerbit Anatolia (2009).
Sketsa Biografi Said Nursi
Said Nursi lahir di desa Nurs, sebelah timur Anatolia, Turki pada tahun 1877. Kedua orang tuanya dikenal sangat saleh, wara’, dan takwa. Sebutan Nursi dinisbahkan kepada tempat lahirnya (Nurs) dimana ia dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Kurdi yang mayoritas diselimuti kemiskinan dan kebodohan. Tanda-tanda kecerdasan dan kecakapannya mulai terlihat sejak ia memasuki Kuttab, dan belajar kepada sejumlah ulama di kampung halamannya. Pada usia 14 tahun ia telah menerima ijazah ilmiyyah setelah menekuni ilmu-ilmu naqliyyah dan ilmu-ilmu aqliyyah.; dan telah mampu menghafal (di luar kepala) 80 buku-buku referensi (induk) dalam berbagai bidang keilmuan seperti: nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, hadits, ushul fiqh, dan termasuk Alquran. Selain menguasai ilmu-ilmu agama, ia juga mendalami filsafat, logika, dan ilmu-ilmu modern (fisika, kimia, biologi), dan sebagainya. Suatu ketika, ia pernah mimpi bertemu Rasulullah saw., dan memohon kepada beliau untuk didoakan agar diberikan kemudahan dalam memahami dan mengamalkan Alquran (baik dalam berkarya maupun melakukan perbuatan nyata). Rasulullah kemudian memberi kabar gembira kepadanya sambil berkata: “Engkau diberikan ilmu Alquran, dengan syarat engkau tidak meminta sesuatupun dari seseorang!”Fase kehidupan Nursi dapat dibagi menjadi dua. Pertama, fase lama, yaitu sejak kelahirannya hingga diasingkan/dibuang ke Barla pada 1926. Fase ini ditandai dengan penggemblengan diri, pergolakan politik, pembelaan terhadap sistem khilafah, dan pembelaan terhadap Alquran dan Islam. Ia mengalami transisi kepemimpinan politik dari khilafah menjadi Republik Turki yang sekuler, dan dalam banyak hal anti-Islam. Kedua, fase baru, yaitu ketika ia pergi ke Istambul (1896) untuk mengajukan rencana pendirian sebuah pendidikan Islam modern (Madrasah al-Zahra’) di wilayah Kurdi. Madrasah ini dirancang mengikuti model (sistem) al-Azhar di Mesir. Menurut Sukran Vahide, penulis biografinya, ada satu tahap lagi dari kehidupan Nursi, yaitu: tahap konsolidasi gerakan Nur dan jihad dengan kata-kata, terutama melalui karya monumentalnya, Rasa’il an-Nur. Berkat karya monumentalnya itu, Risalah an-Nur yang terdiri dari 130 risalah, dan diterbitkan di Kairo dan Istanbul dalam 10 jilid besar, pemikiran Said Nursi dikenal di dunia Islam dan Barat. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia. Penerjemah Risalah an-Nur ke dalam bahasa Inggris, Mary Weld (Sukran Vahide), adalah seorang muallafah yang mengaku masuk Islam karena membaca karya Said Nursi.
Perempuan di Mata Nursi
Meskipun hidup dalam tekanan dan ancaman fisik dan psikologis yang luar biasa dari pemerintah Kemal Mustafa Ataturk, Nursi tetap menunjukkan sikapnya yang moderat di tengah pertarungan ideologi Islam dan modernisme (Barat) yang mengambil bentuk sekularisme dan westernisme. Dalam konteks ini, Nursi menyatakan bahwa Islam dan modernisme tidak saling bertentangan. Islam tidak identik dengan Arab, dan modern tidak sama dengan western, sehingga modernisasi tidak serta merta identik dengan westernisasi; sama halnya dengan Islamisasi tidak paralel dengan Arabisasi.
Sikap dan pandangan Nursi tersebut penting dikemukakan karena pada waktu itu, masyarakat Turki terbelah menjadi dua kutub yang ekstrem, yaitu Muslim sekuler yang berkiblat ke Barat dan Muslim non-sekuler yang berkiblat ke Arab. Dalam hal ini, Nursi tidak memosisikan diri pada salah satu kutub tersebut, melainkan berada di tengah, bersikap moderat dengan menyatakan bahwa kebaikan dan kebenaran itu bisa datang dari Arab, Barat, atau tempat lainnya.
Sikap moderat Nursi tersebut mempengaruhi cara pandangnya terhadap Islam maupun perempuan. Menurutnya, Islam merupakan agama fitrah, ajarannya sesuai dengan fitrah manusia, termasuk fitrah perempuan yang menurutnya indah, dan perlu diindahkan. Namun, pandangannya tentang perempuan memakai hijab misalnya, menunjukkan oposisinya atas pemahaman sekuler yang berkembang pada masa Attaturk. Baginya, memakai Hijab adalah ekspresi salah satu fitrah perempuan yang tidak hanya indah, tetapi juga berfungsi memberi perlindungan diri bagi perempuan itu sendiri. Hijab bagi perempuan bukan sekedar formalitas busana untuk mempercantik penampilannya, melainkan merupakan “benteng pertahanan diri” yang dapat menjauhkan dirinya aneka godaan.
Oleh karena itu, Nursi mengritik tajam peradaban modern yang mencampakkan hijab, karena dinilai berlawanan dengan fitrah manusia. Menurutnya, perintah Alquran untuk berhijab (QS. al-Ahzab/33: 59 dan an-Nur/24: 31), di samping merupakan fitrah, adalah untuk melindungi perempuan yang merupakan sumber kasih sayang dan teman setia abadi bagi suaminya dari segala kerendahan, kehinaan, perbudakan, dan kemalangan.Menurut fitrahnya, perempuan juga mempunyai kekhawatiran terhadap lelaki asing, sehingga ia perlu berhijab, sebab peristiwa perkosaan maupun perzinahan yang terjadi selama sembilan menit pada perempuan bisa berdampak adanya beban untuk mengandung janin selama sembilan bulan, bahkan keharusan memelihara anak yang tak mempunyai ayah selama sembilan tahun. Argumen ini sengaja ditekankan oleh Nursi, karena tidak jarang perempuan menjadi korban pelecehan seksual. Melihat fitrah perempuan yang menurut Nursi lemah, ia mengingatkan perempuan agar segera melindungi diri mereka dengan memakai hijab agar tidak membangkitkan syahwat para lelaki yang bukan mahramnya dan tidak membuka peluang untuk diganggu. Jadi, hijab merupakan benteng dan pengaman bagi kehormatan dan masa depannya. Kepada para murid-murid perempuannya, Nursi juga berpesan “Janganlah kalian sampai menjual harga diri dengan menyingkap aurat dan berpenampilan terbuka sebelum menemukan suami Mukmin yang shaleh dan berakhlak mulia.” Pesan ini dimaksudkan agar perempuan tidak kehilangan kebahagiaan akhiratnya lantar mengejar kenikmatan duniawi yang sesaat.
Bagi Nursi, perempuan merupakan pahlawan kasih sayang. Nursi melukiskan kasih sayang perempuan (ibu) itu dengan menunjukkan pengorbanannya yang tiada tara. Seperti mengandung selama sembilan bulan mengandung janinnya dan melahirkannya dengan taruhan nyawa. Seorang ibu rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan anak-anaknya dari bahaya tanpa mengharap balasan. Pengorbanannya secara tulus demi anak sebagai kewajiban fitrinya menunjukkan adanya bentuk kepahlawanan yang paling utama dari perempuan dalam upayanya menyelamatkan kehidupan dunia dan akhirat.
Pemberdayaan dan Pemuliaan
Sebagaimana mainstream pandangan masyarakat yang berkembang tentang perempuan, Nursi melihat bahwa sebagian tugas dan tanggung jawab utama perempuan adalah dalam ranah domestik rumah tangga. Untuk menjalankan berbagai tugas itu, perempuan harus menjaga tabiatnya yang mulia. Mereka harus dijaga dan diberdayakan serta diberikan pendidikan agama Islam yang memadai.
Pemberdayaan perempuan harus dilakukan melalui pendidikan holistik (menyeluruh), tidak hanya menekankan aspek kognitif (transfer of knowledge) semata, melainkan juga harus mengindahkan aspek afektif, psikomotik, mental-spiritual, sosial dan moral. Bahkan, menurut Nursi, pendidikan Islam untuk perempuan dan peserta didik lainnya, harus mengintegrasikan antara pendidikan di rumah (tarbiyah fi al-bait), pendidik-an di sekolah/madrasah (formal), pendidikan di masyarakat (informal), dan pendidikan oleh Negara. Dalam konteks ini, Negara sering tidak dinilai sebagai institusi yang mengemban tugas mendidik warga negaranya, padahal Negara dengan pemerintahnya yang baik, bijak, dan mampu memberi keteladan yang terbaik (uswah hasanah) dapat mempengaruhi dan membentuk kepribadian warganya.
Pemberdayaan perempuan, menurut Nursi, juga harus dilakukan melalui pendidikan yang penuh kasih sayang. Anak-anak perlu ditumbuhkembangkan dalam suasana penuh cinta kasih, bukan dalam suasana penuh kekerasan. Mereka perlu dididik untuk mencintai Allah swt. kedua orang tua, dan sesamanya. Melalui pendidikan penuh kasih sayang itu pula perempuan akan belajar memuliakan dirinya, sehingga menjadi pribadi mulia, berakhlak terpuji, dan berperan maksimal dalam mencerdaskan dan membahagiakan anak bangsa. {}
sumber : Rahima