masturah.com, Namanya Enik Maslahah, perempuan kelahiran Gresik 29 Oktober 1971 ini mengenal isu gender melalui Farhah Abdul Kadir Assegaf atau yang dikenal dengan Farha Ciciek, salah satu feminis muslim dan juga pendiri Rahima. Dari pergulatan pemikiran gender dan Islam tersebut, Enik mulai berpikir dan mencoba melihat apa yang dialami oleh perempuan di masyarakat juga keluarganya sendiri. Ia ingat akan perkataan ibunya, sewaktu Enik masih remaja ia tidak suka dengan sikap keras ayah terhadapnya, dan ayah Enik waktu itu menjustifikasi sikapnya adalah benar sebagai seorang laki-laki, dan dianggap memiliki dasar dalam hadis-hadis (tafsir misoginis).
Kebetulan ayahnya juga santri dan pernah membaca kitab tentang hadis tersebut. Kemudian ibu Enik membantah argumen tersebut dengan mengatakan “Saya tidak pernah mendengar dalam tarikh (cerita) tentang Rasulullah yang memperlakukan istrinya dengan semena-mena, Kanjeng Nabi Muhammad SAW sangat welas asih dan tidak pernah marah atau memukuli istrinya.”
Enik mulai mendialogkan antara teks dan konteks yang dialami oleh ibunya. Atas saran dan diskusi dengan Farhah Ciciek, Enik membuat penelitian berjudul, Pandangan Santri Perempuan Mengenai Identitas dan Peran Perempuan Muslim di pesantren putri Ploso Kediri Jawa Timur dan dijadikan sebagai tugas skripsi di Fakultas Ushuludin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Atas kondisi tersebut, Enik merasa sangat perlu untuk belajar penelitian sosial sebagai alat untuk memahami kehidupan perempuan. Enik melanjutkan pendidikan S2 dengan beasiswa dari Ford Foundation melalui Yayasan Pendidikan Indonesia (YPI), mengambil studi kependudukan di UGM. Ilmu yang berbeda dari sebelumnya. Dalam program ini ia menulis tesis mengenai survival strategi perempuan kepala rumah tangga berdasarkan riset lapangan di sebuah desa miskin Sriharjo Kabupaten Bantul.
Ketertarikan Enik dengan isu gender dan Islam menuntunnya untuk mengikuti Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) di pesantren Binaul Ummah, Bantul Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Rahima. Saat dibagikan formulir ke peserta mengenai usulan ke depan, Enik mengusulkan perlunya diadakan kongres ulama perempuan dari alumni PUP yang memiliki beberapa angkatan dari berbagai daerah. Pemikirannya waktu itu, terinspirasi dari kongres perempuan di Indonesia pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta, mengenai perempuan pada zaman penjajahan Belanda.
Kongres perempuan mampu mengumpulkan para aktivis untuk merespon kondisi ketidakadilan bagi perempuan pada saat itu. Lalu Enik melihat Rahima bersama Fahmina dan Alimat dapat mengorganisir ulama perempuan untuk disatukan dalam suatu kongres ulama perempuan. Enik juga melihat bagaimana ulama perempuan yang memiliki kesadaran atas ketidakadilan bagi perempuan muslim, merespon berbagai situasi yang mendiskriminasi posisi dan peran perempuan muslim atas nama agama.
Bagi Enik, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), merupakan bagian penting dari sejarah gerakan perempuan muslim di Indonesia bahkan di dunia. Karena dalam sejarah belum ada negara yang ulama perempuannya bersatu untuk memikirkan, membahas, dan memperjuangkan hak-hak perempuan secara adil.
Bemigrasi ke Kalimantan dan Membangun Yayasan Rahim Bumi
Setelah 20 tahun tinggal di Yogyakarta, pada 2017 Enik pindah ke kota kecil Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Perpindahan ini dilandasi berbagai alasan. Pertama, karena ketertarikan antara Enik dan suaminya pada pertanian organik dan permaculture. Kedua, ingin lebih dekat dengan keluarga besar suaminya yang berasal dari Kalimantan. Ketiga, ingin memahami tradisi dan budaya masyarakat Banjar yang ia rasa unik hidup disekitar sungai, rawa, dan gambut.
Setelah bermigrasi ke Amunatai, Ibu dari satu anak ini menyadari bahwa masalah lingkungan adalah masalah yang dekat dengan perempuan. Enik juga membahas terkait ekofeminisme yang memperlihatkan hubungan antara opresi perempuan dan opresi terhadap alam. Pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif perempuan. Dari latar belakang tersebut, Enik bersama teman-temannya mendirikan Yayasan Rahim Bumi. Yayasan ini menjadi pusat belajar bersama dan pemberdayan bagi perempuan dan lingkungan. Saat ini Rahim Bumi memulai dengan pendekatan social entreprenurship untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat mengenai pentingnya menggali sumber daya alam yang tidak merusak dan kini, Enik merupakan Direktur Yayasan Rahim Bumi.
Hingga kini, Enik tengah berusaha untuk melakukan aktivitas pemanfaatan gambut dengan baik dan bijak. Apalagi sebagaian besar masyarakat atau perempuan di sana, sumber mata pencahariannya sa–ngat tergantung pada gambut. Enik juga melakukan penyadaran kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemulihan gambut. Hal yang menjadi perhatian Enik juga desa-desa di dearah gambut sebagian besar termasuk dalam kategori Desa Sangat Tertinggal dan Desa Tertinggal.[Isthiqonita]
sumber : swararahima.com