Gerakan emansipasi atau kesetaraan gender kian semarak di era modernisasi dewasa ini. Gerakan feminisme pada satu titik, kemudian memunculkan gugatan terhadap hukum-hukum Islam, yang dianggap akar diskriminatif terhadap perempuan.
Perempuan-perempuan muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya dengan tinggal di rumah, dikesankan sebagai perempuan-perempuan pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat atau menegakkan hijab kepada yang bukan mahramnya, kerap dianggap penghambat kemajuan budaya.
Tapi sejarah panjang Islam membuktikan sebaliknya. Perempuan-perempuan Islam sesungguhnya telah menjadi pelaku revolusioner, pemimpin heroik yang ikut mengubah jalannya sejarah peradaban, dan menginspirasi dunia. Di bawah ini kami tampilkan beberapa di antaranya.
Kesan bahwa wanita muslimah hanya paham dapur, sumur, dan kasur, benar-benar menyesatkan. Tengoklah Perdana Menteri Bangladesh saat ini, Sheikh Hasina Wazed), Perdana Menteri Mali, Cissé Mariam Kaïdama Sidibé, keduanya adalah wanita muslim.
Atau lihatlah Presiden Kosovo Atife Jahjaga, yang menjadi wanita presiden termuda dalam sejarah, sekaligus wanita pertama yang menjadi presiden di negerinya. Bahkan sejak Since 1988, negara-negara seperti Bangladesh, Indonesia, Mali, Pakistan, Kosovo, Kyrgyzstan, Senegal, Turki, sudah dipimpin oleh wanita muslim.
Berikut ini adalah wanita-wanita muslimah yang ikut mengubah jalannya sejarah sejak abad ke-7 hingga saat ini. Dalam perjuangan dan aktivitasnya, beberapa dari mereka harus dipenjara, disiksa, dilecehkan, namun kekuatan hati dan iman membuat mereka tetap bertahan dan mencapai tujuan. Mereka tak banyak dikenal luas oleh dunia, mungkin saja karena kesengajaan untuk mengaburkan peran mereka.
Nusayba bint Ka’b Al-Ansariyah (630-690 M)
Dialah salah satu pejuang muslimah pertama yang telah ikut berperang di sisi Rasulullah Muhammad SAW dalam membela panji-panji Islam pada awal penyebarannya. Ia hidup di masa Rasulullah di Madinah, dan terlibat dalam Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Yamama, dan Perjanjian Hudaibiyah.
Ia berjuang di sisi Muhammad bersama suami dan kedua anaknya. Setiap kali bahaya mengancam Muhammad, ia selalu ada untuk melindungi. Sebuah catatan menyebutkan sebuah kisah di Perang Uhud di mana Nusayba sendiri bercerita, “Suatu ketika pasukan meninggalkan Rasul tidak terlindungi. Hanya sedikit yang bertahan, tak lebih dari sepuluh orang. Aku bersama suami dan anakku termasuk yang masih bertahan dan berjuang bersama Rasul.”
Dalam buku The Scimitar and the Veil (Hidden Spring, 2004) halaman 214, penulis mengutip pernyataan Muhammad, yang menyinggung nama Nusayba. “Dalam Perang Uhud, ke manapun aku memandang, aku melihat dia berjuang untukku.”
Dikenal dengan nama Umm Omara, wanita ini juga dianggap sebagai pejuang hak asasi wanita pertama. Dikisahkan Umm Omara bertanya kepada Rasulullah, “Kenapa Allah hanya menyebut laki-laki (dalam alquran)?” Kemudian turun Surat Al Ahzab, dan pada ayat 35 dijelaskan persamaan antara laki-laki dan wanita dalam hal amal saleh dan balasan masing-masingnya.
Rab’ia al-Adawiyya (717-801 M)
Rab’ia dikenal sebagai wanita sufi yang hidup pada abad ke-8 di Basra, Irak. Kisahnya lebih banyak ditulis oleh Farid ud-Din Attar, juga seorang sufi dan penyair. Sesungguhnya, dialah salah satu pendiri sufisme.
Rab’ia lahir dari keluarga sangat miskin dan menjadi budak. Ia menjadi sufi dan menentang perbudakan. Sebagai penyair dan sufi, ia menulis dan mempopulerkan apa yang dikenal dengan the doctrine of Divine Love atau “Cinta Ilahi”, dan menjadi salah satu penyair sufi terpenting di eranya.
Suatu ketika ia ditanya mengapa selalu berjalan menyusuri jalan dengan meneteng seember air di satu tangan dan memegang sebuah lilin menyala di tangan satunya. Rab’ia menjawab, “Aku ingin membakar surga dengan api ini, dan memadamkan api neraka dengan air ini, sehingga orang akan berhenti menyembah Allah karena takut neraka atau godaan surga. Orang harus mencintai Allah sebagaimana Allah mengasihi mereka.”
Ia memiliki banyak murid yang di kemudian hari tercatat sebagai sufi-sufi terkenal. Rab’ia sendiri berguru pada ulama dan cendekiawan terkemuka Hasan Al Basri, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi).
Fatima al-Fihri (tidak diketahui-880 M)
Dialah pendiri universitas pertama, sekaligus kampus perguruan tinggi tertua di dunia. Fatima adalah seorang dermawan bersahaja yang mewakafkan sebagian besar harta warisannya untuk mendirikan Masjid al- Qarawiyyin, di kota Fez, Maroko. Sebuah masjid yang kelak menjadi cikal bakal universitas pertama di Maroko, dunia Islam, dan di seluruh dunia.
Bermula dari aktivitas diskusi agama yang digelar masjid itu, belakangan berkembang membahas pelbagai persoalan. Lambat laun, materi yang dibahas dan diajarkan oleh parav cendekiawan muslim mencakup berbagai bidang, termasuk tata bahasa, logika, kedokteran, matematika, astronomi, kimia, sejarah, geografi, hingga musik.
Beragam topik yang disajikan dengan berkualitas oleh para ilmuwan terkemuka akhirnya mampu menarik perhatian para pelajar dari berbagai belahan dunia. Sejak itulah, aktivitas keilmuan di Masjid Al-Qarawiyyin berubah menjadi kegiatan keilmuan bertaraf perguruan tinggi. Pada tahun 859, berdirilah universitas alias jami’ah pertama Al-Qarawiyyin (Jami’ah Al-Qarawiyyin).
Guinness Book of World Records pada 1998 menempatkan Universitas Al-Qarawiyyin sebagai perguruan tinggi tertua dan pertama di dunia yang menawarkan gelar kesarjanaan. Sebelum menjadi Paus Sylvester II, Gerbert of Aurillac sempat menimba ilmu di universitas ini. Ia mempelajari matematika dan kemudian memperkenalkan penggunaan nol dan angka Arab ke Eropa.
Bahkan, universitas ini secara tak langsung memicu proses Renaisans di peradaban Barat pada ke-15 M, melalui kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang ditransfer para ilmuwan Muslim yang belajar atau yang mengajar di universitas itu. Majalah Time edisi 24 Oktober 1960 menyebut obor Renaisans berasal dari Fez, Maroko.
Sultan Raziyya (1205-1240)
Ia adalah Sultan Delhi (India) yang berkuasa antara 1236 hingga 1240, dan menjadi Sultan wanita pertama yang memerintah di Kesultanan Delhi. Di bawah kekuasaannya, ia mendirikan sekolah, akademi, pusat-pusat penelitian, hingga perpustakaan umum. Sultan Raziyya sangat populer antara lain karena pemikirannya bahwa semangat agama lebih penting daripada yang lain.
Raziyya selalu menolak disebut sebagai Sultana (ratu) karena itu berarti seorang “istri atau nyonya seorang sultan.” Merasa bahwa aprepriasi citra maskulin akan membantunya mempertahankan kerajaannya, Raziyya selalu berpakaian layaknya pria dan mengenakan sorban, celana, jaket, dan pedang.
Nana Asma’u (1793-1864)
Seorang putri, penyair, guru, sekaligus sufi, Nana adalah wanita muslim di Nigeria yang menguasai bahasa Arab, Fulfulde, Hausa, Tamacheq, Yunani, bahkan Latin klasik. Pada 1830, Nana membentuk sebuah kelompok guru perempuan yang ditugaskan berangkat ke seluruh wilayah untuk mendidik perempuan di daerah miskin dan pedesaan.
Lewat publikasi karya-karyanya, yang menekankan pendidikan perempuan, Nana telah menjadi inspirator bagi perempuan Afrika. Hari ini, di Nigeria Utara, organisasi wanita Islam , sekolah dan gedung pertemuan sering dinamai dengan namanya untuk sebuah penghormatan.
Di kalangan wanita muslim di Afrika Barat, Nana menjadi menjadi legenda berkat perjuangannya dalam memajukan pendidikan wanita, kegiatannya dalam persoalan-persoalan sosial, dan juga kecerdasan dan kesalehannya. Ia adalah putri dari Shehu Utsman Dan Fodiyo, pemimpin gerakan Sokoto Jihad di Afrika Barat.
Laleh Bakhtiar (1938-Sekarang)
Wanita muallaf keturunan Amerika-Iran ini lahir dan besar di di Los Angeles dan Washington, D.C. sebagai seorang katolik. Usia 24 ia ikut suaminya, seorang warga Iran. Di kampung halaman sang suami, ia mempelajari alquran dan masuk Islam pada 1964.
Setelah bercerai, ia kembali ke AS pada 1988 dan mulai menghasilkan karya-karyanya. Laleh telah menulis dan menerjemahkan sedikitnya 25 buku tentang Islam, umumnya mengenai sufisme.
Terjemahan alquran dalam bahasa Inggris karyany, The Sublime Quran (2007), tercatat sebagai terjemahan pertama alquran ke dalam bahasa Inggris oleh seorang wanita AS. Terjemahannya menggabungkan arti alternatif (pilihan) untuk istilah Arab yang mengandung banyak arti dan definisi.
Misalnya, ia menerjemahkan daraba sebagai “pergi”, ketimbang “mengalahkan” atau “memukul.” Terjemahannya sekarang banyak digunakan di masjid dan universitas dan telah diadopsi oleh Pangeran Ghazi Bin Muhammad dari Yordania.
Shirin Ebadi (1947-Sekarang)
Dialah wanita muslim pertama peraih hadiah Nobel Perdamaian pada 2003. Ebadi mengalahkan dua saingan beratnya, Paus Yohanes Paulus II dan mantan Presiden Ceko, Vaclav Havel. Ia adalah hakim, pengacara, penulis, dosen, serta aktivis perempuan yang selalu berbicara kritis terhadap kondisi negerinya, Iran. Itulah yang mengantarnya meraih Nobel Perdamaian.
Sebagai seorang hakim, Ebadi adalah wanita pertama yang mencapai status Ketua. Namun, diberhentikan dari posisi ini setelah Revolusi 1979. Sebagai pengacara, Shirin Ebadi telah banyak memecahkan kasus kontroversial, dan ditangkap beberapa kali karena memperjuangkan idealismenya.
“Sebuah penafsiran Islam yang selaras dengan demokrasi dan persamaan adalah ekspresi otentik keimanan. Ini bukanlah agama yang mengikat perempuan, tetapi kebijakan selektif dari penguasa yang berharap mereka tertutup,” demikian Shirin.
Anousheh Ansari (1966-Sekarang)
Pada tahun 2006, Anousheh mencatatkan dirinya sebagai wanita muslimah pertama yang berada di luar angkasa. Saat ditanya tentang apa yang ia berharap untuk mencapai di luar angkasa, Ansari berujar, “Saya ingin bisa menginspirasi setiap orang, terutama kaum muda, wanita, dan para gadis. Saya ingin katakan bahwa perempuan juga punya kesempatan yang sama (dengan pria) untuk menggapai impian.”
Wanita asal Iran ini memang selalu memiliki sekaligus menggaungkan semangat untuk maju. Berbekal semangat pantang menyerah itu pulalah ia sukses menaklukkan Amerika Serikat (AS) lewat aktivitas bisnisnya.
Menjelajah AS sejak remaja, Ansari menapaki kehidupan yang sarat perjuangan. Ia berhasil meraih gelar sarjana komputer dari George Mason University, dan gelar master di bidang teknik elektro dari George Washington University.
Bersama suaminya, ia mendirikan perusahaan telekomunikasi, Telecom Technologies Inc., pada 1993. Ia juga pendiri dan pemilik perusahaan informasi dan teknologi, Prodea Systems. Selain berbisnis, Ansari juga giat dalam kegiatan sosial, dan meraih banyak penghargaan.
Pada September 2006, Ansari melancong ke antariksa dengan Soyuz TMA-9, dan menjadi orang sipil keempat yang membiayai perjalanannya sendiri ke luar angkasa.
Rufaidah binti Sa’ad (570-632 M)
Ia adalah perawat Islam pertama yang hidup di masa Rasulullah. Ia menjadi relawan perawat bagi pasukan muslim yang terluka di Perang Badr, Uhud, Khandaq, dan Perang khaibar.
Lahir di Yastrib dan tinggal di Madinah, Rufaidah termasuk kaum Anshar, golongan yang pertama kali menganut Islam di Madinah. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Digambarkan sebagai perawat teladan, baik dan bersifat empati, Rufaidah bukan saja perawat profesional pertama dalam sejarah Islam, tapi juga di dunia. Masanya jauh lebih dulu dari Florence Nightingale, perawat tersohor yang merawat para tentara Inggris pada ke-17, dan dianggap pelopor dunia perawat.
Rufaidah juga seorang pemimpin, organisatoris, yang mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain untuk menjadi perawat. Rufaidah adalah public health nurse sekaligus seorang social worker yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam.
Tjut Nyak Dien (1848-1908)
Dari Tanah Air tercinta, siapa tak kenal wanita muslim pejuang yang gagah berani melawan Belanda hingga akhir hayatnya. Pahlawan Nasional kelahiran Aceh ini adalah bangsawan puteri Nanta Seutia Raja Ulebalang VI Mukim. Berwajah cantik, berbudi pekerti, tangkas, dan berwatak luar biasa.
Perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda hadir dalam bentuk upaya mengajar para wanita dalam hal mendidik bayi dan menanam semangat kepahlawanan melalui syair-syair yang menanam semangat jihad kepada anak-anak mereka.
Ketika peperangan semakin memanas, Cut Nyak Dien terus menggembleng semangat para pejuang perempuan untuk turut serta membantu peperangan. Pun, ketika suaminya, rekan seperjuangannya, Teuku Ibrahim Lamnga gugur pada 29 Juni 1878, Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan.
Pasca kematian suami keduanya, Teuku Umar, yang juga pahlawan nasional, Cut Nyak Dien bersumpah, “Demi Allah, selama Pahlawan Aceh masih hidup, peperangan tetap kuteruskan guna kepentingan agama, kemerdekaan bangsa, dan negara.” Ia meneruskan perjuangan dengan bergerilya selama enam belas tahun di tengah hutan. Ia tertangkap pada 6 November 1905, dalam kondisi lanjut usia dan buta. Ia diasingkan di Sumedang dan wafat pada 6 November 1908.
Cut Nyak Dien berjuang bukan hanya dengan tenaga dan kekuatannya, tapi juga dengan pemikiran dan keteguhannya membela agama. Seperti yang dikatakan Snouck Hurgronje, kekuatan perjuangan pasukan Aceh bukan dari tenaga mereka tapi dari agama mereka.
sumber : Mens Obsession