KOMPAS.com – Sejak zaman nabi, sejumlah wanita sudah memiliki peran penting dalam mempengaruhi sejarah dunia, mulai dari aspek sosial, politik, pendidikan, serta kebudayaan.
Hanya saja, mungkin peran meraka kurang diketahui dan jarang diekspos oleh panulis sejarah yang masih didominasi oleh pria.
Berikut Kompas.com merangkum sejumlah tokoh legenda wanita Muslim, yang perannya berpengaruh besar dalam perkembangan sejarah dunia, menurut Feminism in India:
1. Khadijah binti Khuwailid
Khadijah adalah wanita mandiri, berilmu, dan dermawan. Ia merupakan istri pertama sekaligus umat pertama Nabi Muhammad yang setia.
Lahir pada 555 Masehi dari keluarga pedagang sukses di suku Quraisy Mekah. Ia banyak belajar ilmu bisnis dari ayahnya, Khuwailid bin Asad. Setelah ayahnya meninggal, segera ia mengambil alih tanggung jawab bisnis tersebut, yang saat itu didominai oleh pria.
Mewarisi ilmu ayahnya, Khadijah menjadi salah satu pedagang paling sukses dan dikenal di Mekah karena kejujuran dan kebajikannya. Dia dikenal sering memberi makan dan memberi pakaian kepada orang miskin serta membantu kerabatnya yang membutuhkan.
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad, Khadijah telah menjanda dua kali karena kedua suaminya meninggal. Saat suami keduanya meninggal, ia berpikir tidak akan menikah lagi. Namun, ia telah ditakdirkan menjadi isteri Nabi Muhammad.
Ia sangat terkesan dengan kejujuran Nabi Muhammad, saat membawa karavan dagangnya ke Suriah. Mereka menikah dengan usia yang terpaut jauh. Saat itu, Nabi Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijaha 40 tahun. Dalam perjalanan suka-duka Nabi Muhammad menjalankan perintah Yang Maha Kuasa, Khadijah dengan setia mendukungnya secara moral dan finansial hingga ia wafat di usia 64 tahun 6 bulan.
Kematian Khadijah dikenal juga sebagai Amul Huzni.
2. Nusaibah Binti Kaab
Nusaybah Binti Kaab adalah anggota dari suku Banu Najjar di Madinah, yang terkenal karena keberaniannya di medan perang.
Namanya sebagai pejuang dikaitkan dengan banyak pertempuran, seperti Bait-ul-‘Aqabah II, Perang Uhud, Perang Hunayn, Perang Yamamah, dan Perjanjian Hudaybiyah.
Dalam Perang Uhud, dia adalah salah satu tokoh perang yang mengawal dan melindungi Nabi Muhammad. Diceritakan bahwa ke arah mana pun Nabi berada, Nabi dapat melihat wanita tangguh itu mengawal dan melindunginya dari lawan, seperti perisai. Dia menderita 12 luka dalam Perang Uhud, sebelum ia pingsan. Ketika ia sadar, hal pertama yang ditanyakannya adalah keselamatan Nabi.
Dia juga terlibat pertempuran melawan Musailamah Al-Kadzab, di mana dia kehilangan putranya, dan dirinya sendiri menderita banyak luka.
3. Aisyah binti Abu Bakar
Aisyah dikenal sebagai sitri termuda Nabi Muhammad dan salah satu yang paling dicintai. Namun selain itu, Aisyah sebenarnya memiliki peran utama dalam politik pada masanya.
Dia diketahui telah meriwayatkan 2210 hadis dan sunnah dari Nabi Muhammad, yang kemudian menjadi sumber ilmu lain bagi umat Islam, selain Al-Quran. Apa yang dituliskan oleh Aisyah adalah perkataan dan tindakan religius Nabi Muhammad sehari-hari, meliputi berbagai topik, termasuk tentang warisan dan ziarah. Setelah Nabi wafat, peran Aisyah dalam komunitas Islam meningkat.
Dia yang berperan menentang konstruksi patriarki yang berkembang dengan menyampaikan pidato publik. Setelah kematian Utsman bin Affan, sahabat Rasulullah yang menjadi khalifah ketiga, Aisyah memimpin Perang Basra atau dikenal sebagai Perang Unta pada 656 Masehi.
Dia kalah dalam perang, tetapi menjadi tanda yang menonjol dalam warisannya, bahwa perempuan dapat berjuang menentang patriarki. Upayanya adalah catatan penting secara historis tentang perjuangan dari perempuan berdaya. Setelah kekalahannya di medan perang, dia kembali ke rumah dan mulai menerjemahkan hadis dan menyebarkan Islam.
4. Rabia al-Adawiyya
Lahir di Basra, Irak, Rabia adalah salah satu ulama dan penyair Muslim Sufi. Di awal hidupnya, dia adalah seorang budak di Irak Selatan sampai dia mendapatkan kebebasannya.
Ide-idenya tentang spiritualitas dianggap paling penting dalam tradisi Sufi awal, dan dia dianggap sebagai salah satu pendiri tradisi “Cinta Ilahi”. Idenya berfokus pada cinta kepada Tuhan demi cinta itu sendiri, dari pada keluar dari ketakutan atau bantuan.
Dia memilih kehidupan pertapaan dari pada rumah tangga, saat dia menolak berbagai lamaran pernikahan. Dia hidup dalam pengasingan, yang seringkali membawa kemiskinan, tapi keteguhan pertapaannya tidak memudar. Banyak pria dan wanita sering mendekatinya, untuk meminta bimbingan spiritual, dan pengetahuannya tentang tradisi Sufi.
John Renard mencatat dalam Historical Dictionary of Sufism (2005), “Dia adalah salah satu dari sedikit wanita yang secara konsisten mendapat tempat dalam antologi hagiografi selama berabad-abad.”
5. Lubndadari Cordoba
Lubna hidup pada abad ke-10 M, dan dibesarkan di istana Sultan Abd al-Rahman III. Banyak bakat dan karya berbeda telah dikaitkan dengannya, tetapi tidak membanggakan kepopulerannya.
Dia bertanggung jawab atas perpustakaan Kerajaan di istana Andalusia, yang memiliki sekitar 500 ribu buku pada saat itu, dan merupakan salah satu perpustakaan terpenting di dunia.
Selama masa hidupnya, ia bekerja sebagai sekretaris Khalifah, sebagai juru tulis, dan kemudian sebagai sekretaris pribadi putra Abd Al-Rahman Hakam II Ibn Abdur-Rahman. Namun, pengetahuan dan keahliannya tidak terbatas pada menulis dan menerjemahkan, tetapi dia juga seorang ahli matematika dan dikenal telah mengajarkan persamaan matematika kepada anak-anak jalanan.
Selain itu, dia juga seorang penyair dan penulis kaligrafi. Banyak yang tidak diketahui tentang Lubna karena hanya ada sedikit catatan sejarah tentangnya. Justru, dulu yang ada sering dipertanyakan keandalan dan kredibilitasnya. Seringkali dikemukakan bahwa Luban mungkin bukan satu orang, melainkan 2 wanita berbeda bernama Lubna dan Fatima, yang secara kolektif memiliki bakat-bakat ini.
Namun, catatan hidupnya dianggap telah bercampur dalam halaman-halaman sejarah. Apa pun kebenaran di balik spekulasi ini, tidak dapat disangkal bahwa perempuan berdaya dengan bakat dan ilmu seperti itu ada, tetapi kehidupan mereka tidak didokumentasikan dengan baik.
6. Al-Malika al-Hurra Arwa al-Sulayhi
Lahir pada 1048 Masehi, Arwa menjadi yatim piatu di usia muda dan diadopsi oleh paman dan bibinya, yang saat itu adalah penguasa Yaman. Dia dibesarkan dengan pendidikan yang baik oleh ratu dan kemudian menikah dengan pangeran pada usianya yang ke-17 tahun.
Ketika raja dan ratu meninggal dalam serangkaian peristiwa traumatis, dan pangeran tidak dapat memerintah karena kesehatan dan kelumpuhannya yang buruk, Arwa naik takhta sebagai penguasa tunggal Yaman.
Segera setelah dia berkuasa, dia memindahkan ibu kota kerajaan dari Sanaa ke Jibla, agar berada dalam posisi yang lebih baik untuk memerintah dan juga untuk membalas kematian mendiang raja dengan menghancurkan penguasa Najahid, Said ibn Najar.
Dia berhasil melakukannya pada 1088. Dia dikenal telah membangun banyak sekolah di seluruh wilayahnya, dan meningkatkan perekonomian secara signifikan. Kronik waktu memanggilnya sebagai wanita pemberani, mandiri, memiliki kecerdasan dan penalaran yang luar biasa.
Dia tidak pernah kehilangan dukungan dari rakyatnya, dan dengan sayang disebut “ratu kecil Sheba”. Dia tetap berkuasa sampai kematiannya pada 1138.
7. Sayyida al-Hurra
Sayyida lahir di Kerajaan Granada, negara yang diperintah Muslim terakhir di Spanyol. Keluarganya pindah ke Maroko setelah jatuhnya kekaisaran pada 1492. Dia, bersama dengan suami pertamanya membangun kembali kota Tetouan di Maroko Utara, yang kemudian dia kuasai sendiri setelah kematian suaminya pada 1515.
Nama asli Sayyida tidak diketahui dan nama Sayyida al-Hurra adalah sebutannya karena sifatnya yang kuat dan berani. Sayyida al-Hurra artinya wanita mulia yang bebas dan mandiri, wanita berdaulat yang tidak tunduk pada otoritas superior. Dia menjadi orang terakhir dalam sejarah Islam yang memegang gelar al-Hurra atau ratu. Dia juga dikenal sebagai Hakima Tatwan, yang berarti Gubernur Tetouan.
Sayyida adalah ratu yang tidak biasa dengan gelar “ratu bajak laut” yang sering dianggap berasal darinya. Dia menguasai sebagian besar laut Mediterania Barat dengan armada bajak lautnya, yang dia gunakan untuk mendominasi kapal-kapal Spanyol dan Portugis.
Ketika dia kemudian menikah dengan raja Maroko, dia tidak berniat menyerahkan kekuasaannya, justru dia menyuruh Raja datang ke Tetouan. Itu adalah kali pertama dan satu-satunya dalam sejarah Maroko raja tidak menikah di ibu kota.
Setelah 30 tahun berkuasa, dia digulingkan oleh menantu laki-lakinya, dan nasibnya di kemudian hari tetap tidak diketahui. Dia benar-benar lenyap dari sejarah.
Kehidupan perempuan-perempuan berdaya ini seringkali diabaikan saat mempelajari dan membicarakan sejarah Islam. Meskipun benar bahwa banyak hal dalam kehidupan para wanita ini masih diatur oleh tradisi patriarkal, tapi banyak hal telah mereka perjuangkan dan ubah, sampai muncullah penerusnya.